Rabu 04 Nov 2020 08:15 WIB

Jonkers 'Sawo Matang' di Kastil Breda

Ada konflik batin saat menyanyikan lagu kebangsaan dan hormat bendera Belanda.

Kadet asal Indonesia mendapatkan pendidikan di Akmil Kerajaan di Breda, Belanda.
Foto: Buku Rudini Jejak Langkah Sang Perwira.
Kadet asal Indonesia mendapatkan pendidikan di Akmil Kerajaan di Breda, Belanda.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Jonkers. Itulah sebutan untuk para kadet jika dipanggil oleh para instruktur yang mengikuti pendidikan di Akademi Militer Kerajaan di Breda atau disebut KMA (Koninklijke Militaire Academie) Breda, Belanda

Bagi masyarakat negeri Kincir Angin itu, jonkers artinya anak bangsawan, keluarga keturunan raja, pangeran, atau baron. Latar belakang panggilan itu karena hanya anak-anak keturunan tertentu saja atau yang berdarah biru yang bisa merasakan pendidikan militer di KMA.

Di antara para jonkers itu, terdapat 35 kadet asal Indonesia. Para instruktur di akademi militer itu rupanya tidak tahu kalau kadet berkulit sawo matang tersebut bukan keturunan bangsawan, melainkan dari masyarakat biasa.

“Setelah tahu artinya jonkers, kami senyum-senyum saja,” kata Jenderal (Purn) Rudini, dalam buku memoarnya, Jejak Langkah Perwira. Almarhum Rudini merupakan lulusan KMA Breda pada 1955.

 

KMA Breda menempati bangunan kuno (kastil) yang cukup megah, Kasteel van Breda. Untuk mencapai Breda, naik kereta memerlukan waktu sekitar satu jam dari Amsterdam atau Den Haag. Akademi Militer (Akmil) ini termasuk yang tertua di daratan Eropa.

Di tempat ini pula, lahir keluarga Oranje Nassan, embrio ratu dan raja Belanda. Namun pada 1826, Raja Willem I mengubah kastil ini dari semula sebagai sekolah artileri dan sekolah genie (zeni) menjadi Akmil Kerajaan.

 

Akmil Yogya ditutup

Menurut Rudini, pemuda asal Indonesia yang menjadi kadet di Breda, di antaranya sesuai hasil psikotes mengambil jurusan Infanteri (11 kadet), Kavaleri (10 kadet), Artileri (6 kadet), Zeni (4 kadet), Perhubungan (1 kadet), dan Administrasi (3 kadet).

Alumni Akmil Kerajaan Belanda, Breda ini tak bisa dipisahkan dengan Akmil di Yogyakarta. Awalnya, pada September 1949, Akmil Yogyakarta membuka pendaftaran untuk taruna angkatan ketiga.

Persyaratannya ditingkatkan menjadi lulusan sekolah menengah tinggi (SMT), sekarang disebut sekolah menengah atas (SMA). Namun, dengan perubahan itu, yang mendaftar hanya 21 pemuda.

Setelah melalui seleksi, yang diterima hanya 12 orang. Dalam perjalanan waktu di awal masa pendidikan, berkurang lagi menjadi 10 orang. Bahkan, setelah tiga bulan masa pendidikan, tiga orang kadet mengundurkan diri sehingga jumlah kadet hanya tinggal tujuh orang.

 

Dengan kondisi tersebut, pendidikan di akademi tersebut tidak memungkinkan dilanjutkan lagi. Akhirnya, pemerintah menutup sementara Akmil Yogyakarta ini pada 1950. Belakangan akademi tersebut dibuka kembali pada 1957 dengan nama Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang, Jawa Tengah. Kini, disebut Akmil.

Tujuh kadet yang tersisa dari Akmil Yogyakarta itu, akhirnya bergabung bersama 29 pemuda lainnya melanjutkan pendidikan di KMA Breda pada 1951. Mereka disebut juga sebagai kadet abituren MA Yogyakarta angkatan ketiga.

Ada sekitar 1.500 pemuda yang mendaftar menjadi kadet KMA Breda, namun hanya sekitar 30 orang yang berhasil lulus. Para pemuda ini terdiri atas lulusan SMT/SMA, mahasiswa, mantan pelajar pejuang, anggota tentara, kadet MA Yogyakarta, siswa Sekolah Pendidikan Genie (Zeni) Angkatan Darat, dan siswa Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat.

 

Tes wawancara menggunakan bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. Namun, yang paling diutamakan adalah bahasa Belanda. Para pengujinya merupakan perwira yang fasih berbahasa Belanda dan berdasarkan Konferensi Meja Bundar (KMB) disetujui tentara Belanda.

Buah dari KMB

KMB pada 1949 berisikan pengakuan Belanda terhadap kedaulatan Indonesia, kecuali Irian Barat. Persetujuan itu merupakan pintu masuk bagi pemuda Indonesia dari berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan untuk mengenyam pendidikan militer di negara bekas musuh tersebut.

 

Memang sebelum itu, beberapa pemuda Indonesia yang tergabung dalam Angkatan Darat Hindia Belanda atau KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger) pernah dikirim ke KMA Breda dan Hoogere Krijgschool di Den Haag. Bahkan, Belanda sempat memindahkan KMA ke Bandung saat pecah perang dunia kedua dan Jerman menyerang Belanda.

Alumni KMA di Belanda, antara lain Mayjen Pangeran Ario Djatikusumo alias Ario Poerbonegoro (kavaleri/1922), Mayjen Muhammad Soedibjo (infanteri/1930), Mayjen Didi Kartasasmita (infanteri/1935), dan Mayjen RM Soejarso Soerjosoelarso (infanteri/1939).

Orang Indonesia yang mengawali sebagai lulusan KMA Belanda, seperti ditulis Adrianus Kojongian dalam blognya, adalah LE Lanjouw (Artileri/1918), kemudian Mas Sardjono (Artileri/1921), Raden Soebiakto (Artileri/1922), AP Matullesija (Zeni/1922), Achmad Salim (Kavaleri/1922), dan Mas Soedjono (Kavaleri/1922).

Alumni KMA Bandung 1940, antara lain; Jenderal Besar AH Nasution (Infanteri), Letjen TB Simatupang (Zeni), Letjen (Anumerta) R Suprapto (Infanteri), Letjen AY Mokoginta (Infanteri), dan Kolonel AE Kawilarang (Infanteri).

 

Sekolah militer di negeri bekas musuh tentu bukan hal mudah. Apalagi  beberapa kadet yang dikirim pada 1951 itu sebelumnya ada yang pernah bertempur dengan tentara Belanda. “Ada konflik batin terkait dengan nasionalisme, terutama saat harus menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, ‘Wilhemus’, dan menghormat bendera Belanda,” ungkap Mayjen (Purn) Soelarso, teman seangkatan Rudini.

 

Sama seperti akademi militer lainnya, lama pendidikan antara tiga-empat tahun, di Breda pun demikian. Sekitar tiga tahun para kadet dibagi dalam tujuh jurusan: Infanteri, Kavaleri, Artileri, Zeni, Perhubungan (teknik elektro), Peralatan (teknik mesin), dan Administrasi.

Saat pendidikan di KMA Breda Belanda, Rudini tergabung dalam kadet Korps Perhubungan (teknik elektro). Setelah masuk ke TNI, kemudian Rudini pindah ke korps Infanteri. Terbukti kemudian Rudni akhirnya yang memperoleh pangkat dan jabatan tertinggi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dengan pangkat jenderal bintang empat pada 1983-1986.

Ia dianggap mewakili lulusan Akmil Yogya angkatan ketiga untuk menjadi KSAD. Sebab mereka awalnya diseleksi untuk menjadi taruna Akmil Yogyakarta pada 1950. Namun yang memenuhi syarat jumlahnya sedikit sekali, sehingga tidak memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan.

Rudini kemudian digantikan Jenderal Try Sutrisno (1986-1988) mewakili lulusan Akademi Zeni Angkatan Darat (Akziad) atau Akademi Militer Jurusan Teknik (Atekad/Akmil Jurtek) Angkatan Darat.

Selain kurikulum pendidikan di kelas dan lapangan, para kadet KMA Breda juga diberikan kesempatan mengikuti latihan yang cukup berat bersama pasukan komando Angkatan Darat Belanda di Kota Rosendaal. Jiwa sebagai anggota militer, yakni ‘esprit de corps’ dipupuk dalam setiap latihan.

 

“Banyak hal dalam pelajaran teori militer di Breda yang tidak bisa diterapkan di Indonesia. Misalnya, soal hubungan antara komandan dan anak buahnya. Hubungannya tidak boleh berjalan baik. Harus ada jarak. Padahal di Indonesia, harus muncul sifat kebapakan seorang komandan saat berhadapan dengan anak buahnya,” ungkap Rudini.

 

Begitu juga soal sistem pertahanan yang berbeda antara Indonesia dan Belanda. Hal ini terkait dengan kondisi alam, situasi masyarakat, serta pengalaman sejarah yang berbeda. Karena itulah, perwira lulusan Breda masih harus mengikuti pendidikan lanjutan selama setengah tahun, yakni proses penyesuaian dengan doktrin TNI yang dilakukan di Bandung. Kini bernama Kodiklat Angkatan Darat.

Dilantik AH Nasution

Para Letnan Dua Tentara Angkatan Darat Kerajaan Belanda itu resmi menjadi bagian dari TNI setelah dilantik oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal AH Nasution. Mereka umumnya langsung ditempatkan di kesatuan-kesatuan lapangan menjadi komandan peleton dan diterjunkan dalam operasi-operasi militer saat itu, seperti DI/TII.

 

Selesai menjalankan tugas sebagai komandan peleton, mayoritas ditarik ke Magelang untuk menjadi instruktur di AMN yang baru dibuka kembali pada 1957. Mereka bersama dengan alumni MA Yogyakarta dan Akademi Zeni Angkatan Darat melatih juniornya. Salah satu kelebihan alumni Breda, di antaranya mereka lebih menguasai persenjataan modern dibandingkan lulusan lainnya.

Berikut lulusan KMA Breda. Infanteri, yaitu  Beggy Subagyo, K Suparman, Rudini, Sarwono, Sudibyo, Sularso, Sumargono, Suseno, T Subyantoro, Untung Sridadi, Soehirno. Kavaleri, yaitu Gatot Sumartomo, Haryono, Herrawan, Purnomo, Rinto Sulaiman, Subagyo K, RP Subagyo, Sudarmaji, Supono, Susanto Wismoyo.

 

Artileri, yaitu Jopie AJ Bolang, Prajitno, Soebijakto, Sudiman Saleh, Sumarno, Sudarsono, Theo Sumantri. Zeni, yaitu Budayat Sutikno, Darsoyo, Ngandani, Tuk Setyohadi. Perhubungan, yaitu Iwan Kartadinata. Administrasi, yaitu Ating Kartakusumah, Jushar Jahja, RM Utoro.

 

Alumni Breda yang berhasil meraih pangkat perwira tinggi sebanyak 24 orang atau 66,6 persen. Mereka di antaranya, Infanteri: Jenderal Rudini, Mayjen Untung Sridadi, Mayjen Soelarso.

Kavaleri: Mayjen Susanto Wismoyo. Artileri: Mayjen Soebijakto, Mayjen Sudiman Saleh, Mayjen Theo Sumantri, Zeni: Mayjen Tuk Setyohadi, Mayjen Darsoyo, Brigjen Ngandani. Perhubungan: Mayjen Iwan Kartadinata.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement