Rabu 04 Nov 2020 17:23 WIB

Pelanggar Syariat Islam di Aceh Barat Diadili Secara Adat

Pasangan muda tersebut tertangkap melanggar syariat Islam di sebuah kafe.

Pelanggar Syariat Islam di Aceh Barat Diadili Secara Adat. Polisi Syariat Islam atau Wilayatul Hisbah di Aceh. Ilustrasi
Foto: Antara/Rahmad
Pelanggar Syariat Islam di Aceh Barat Diadili Secara Adat. Polisi Syariat Islam atau Wilayatul Hisbah di Aceh. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, MEULABOH -- Pasangan diduga pelanggar hukum syariat Islam di Kabupaten Aceh Barat dipastikan menjalani peradilan adat dan tidak menjalani hukuman cambuk di muka umum. Mereka sebelumnya tertangkap melanggar syariat Islam di sebuah kafe di Meulaboh, Ibu Kota Kabupaten Aceh Barat pada Selasa petang (3/11).

Pria yang diamankan tersebut berinisial SA (23 tahun) dan pasangan perempuannya berinisial ND (18) seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Meulaboh Kabupaten Aceh Barat. “Pelaku sebelumnya diamankan oleh warga karena mereka berada di lokasi kafe yang sudah tutup. Setelah diproses oleh aparat desa, kemudian pasangan ini diserahkan ke polisi WH untuk dititipkan. Proses hukumnya sesuai peradilan adat,” Kasatpol PP WH Kabupaten Aceh Barat, Azim diwakili Kasi WH, Aharis Mabrur, Rabu (4/11).

Baca Juga

Seperti diketahui, sesuai Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Desa) terdapat 18 perkara yang penyelesaiannya dapat diselesaikan secara peradilan adat di desa tanpa harus dilakukan di persidangan Pengadilan Negeri.

Diantaranya terdiri dari perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh (ahli waris), perselisihan antarwarga, khalwat (mesum); perselisihan tentang hak milik, pencurian dalam keluarga (pencurian ringan), perselisihan harta sehareukat.

Kemudian, pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan, persengketaan di laut, persengketaan di pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat), pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik, pencemaran lingkungan (skala ringan), ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman), serta perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat-istiadat.

Aharis menjelaskan, peradilan adat yang diikuti oleh pasangan tanpa ikatan pernikahan tersebut digelar di desa pelaku, sesuai dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong. “Bisa saja kena sanksi adat atau misalnya mereka akan dinikahkan, tergantung putusan hukum adat nantinya,” katanya.

Pasangan tersebut diamankan polisi penegak syariat Islam, setelah ditemukan oleh warga berada di kafe yang sudah tutup dan tidak lagi melayani pelanggan di Desa Suak Ribee, Meulaboh. Saat ditanya warga, pelaku SA dan ND mengaku ketinggalan telepon selular sehingga keduanya kembali ke kafe tersebut.

Karena diduga telah melakukan pelanggaran hukum syariat Islam, keduanya diserahkan kepada aparat desa guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement