REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat geopolitik global Teuku Rezasyah berharap Amerika Serikat (AS) dapat segera menentukan pemenang pemilihan presiden 2020 demi mencegah ketidakpastian yang dapat berujung pada instabilitas global.
"Global perlu kepastian, karena jadi banyak perjanjian internasional yang tidak bisa ditandatangani Amerika, seperti perjanjian lingkungan hidup, kemudian trans-pacific strategic partnership, yang tidak bisa ditandatangani padahal dampaknya sangat besar," katanya, Rabu (4/11).
Saat ini, proses penghitungan suara pemilihan presiden masih terus dilakukan. Mantan wakil presiden AS Joe Biden masih unggul dengan 238 suara elektoral sementara Presiden Donald Trump 213 suara. Teuku mengatakan bila Biden menang maka Indonesia harus membenahi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Menurutnya seperti politisi atau presiden dari Partai Demokrat sebelumnya, kebijakan luar negeri Biden akan banyak fokus pada isu-isu HAM. Hal itu terutama HAM di masyarakat multikultural, di lingkungan usaha, menyangkut kelompok minoritas dan wilayah konflik.
"Ada kecenderungan Demokrat untuk ikut campur, yang terpenting bagaimana negara-negara yang dituding melanggar HAM untuk membuktikan bahwa berusaha keras menegakan HAM, agar HAM bagian dari pembangunan lintas politik, lintas generasi hingga ke level terbawah," kata dosen Universitas Padjajaran itu.
Teuku mengatakan Indonesia harus mengungkapkan upaya sosialisasi HAM. Bagaimana HAM diajarkan di sekolah-sekolah dasar atau taman anak-anak. Proses penegakan dan sosialisasi itu dikomunikasikan ke dalam dan keluar negeri.
"Dan bila ada pemberitaan yang tidak benar langsung di klarifikasi, pemerintah harus pro-aktif tidak hanya bekerja sesuai prosedur tapi juga pro-aktif karena khawatir pihak luar menganggap Indonesia tidak serius dalam menegakan HAM," katanya.
"Karena HAM tidak hanya kebudayaan, tingkatannya sudah peradaban, dalam konteks ini Bali Democracy Forum sangat penting sekali bagi Indonesia, untuk berbagi pengalaman demokrasi dengan negara lain," ujarnya.
Sementara itu, pengajar hubungan internasional Universitas Indonesia Shofwan al Banna mengatakan baik Biden maupun Trump memiliki sisi positif dan negatifnya bagi Indonesia. Shofwan mengatakan bila Biden menang maka sistem internasional memiliki pemimpin rasional di negara yang paling kuat di dunia.
Bila sistem internasional stabil maka Indonesia dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil. Tetapi terkadang sikap yang terlalu kalkulatif dari Biden, kata Shofwan, membuat AS tidak terlalu efektif.
"Terutama bagi sekutu tradisional Amerika Serikat seperti Timur Tengah misalnya, mereka lebih suka Trump karena menggunakan kekuataan tanpa ragu, itu bukan sesuatu yang baik sebenarnya tapi bagi beberapa sekutu AS seperti Uni Emirat Arab dan negara-negara Teluk yang khawatir dengan Iran, Trump lebih menyenangkan," kata Shofwan.
Sebab, Trump tidak terlalu peduli dengan HAM yang biasanya menjadi fokus Demokrat. Shofwan mengatakan Trump lebih peduli bila negara-negara Arab Teluk itu bersedia membeli senjata dari AS.
"Jadi bila Biden menang model interaksinya akan berubah akan lebih stabil, lebih rasional, mungkin lebih memperhatikan nilai-nilai, tetapi di saat yang sama terlalu rasional mungkin akan menjadi tidak keras terhadap lawan-lawannya AS kalau di Pasifik itu Cina, kalau di Timur Tengah itu Iran," katanya.
"Kalau untuk Indonesia sendiri, tidak terlalu banyak perubahan, kompetisi antara AS dan Cina tetap akan berlangsung entah Biden atau Trump yang menang," ujarnya.
Bagi Shofwan di isu konflik Israel-Palestina, baik Biden atau Trump yang menang tidak ada pengaruhnya. Trump hanya lebih lantang menyuarakan posisi AS. Sebab, sebelum Trump pun posisi AS selalu lebih condong ke Israel.