Kamis 05 Nov 2020 06:46 WIB

Pendidikan Jarak Jauh Antara Realitas, Fanatisme, dan Hijrah

Perkuliahan jarak jauh sepatutnya sangat luwes dan tidak berpatokan satu metode saja.

Anisti, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UBSI.
Foto: Dok UBSI
Anisti, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UBSI.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Anisti MSi

Hampir bisa dipastikan semua orang yang waras merasakan khawatir bahkan cenderung paranoid ketika mendengar sekaligus merasakan suasana serangan wabah virus Covid-19. Kekhawatiran terjadi hampir di seluruh pelosok dunia lantaran kaget sekaligus panik. Hal itu karena sifat virus ini yang mampu menyebar dengan mudah ke sesama manusia, punya daya tahan hidup yang relatif lama pada benda-benda, belum ditemukan obatnya dan mematikan. 

Berbagai aspek kehidupan berjalan tidak sebagaimana mestinya, termasuk dunia pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang sudah dibentuk dari level TK sampai Perguruan Tinggi dan yang sedang berjalan pun berubah. Mengingat cara penyebaran virus Covid 19 ini yang begitu cepat dan kebijakan pemerintah daerah yang membatasi perjumpaan antaranggota masyarakat, maka proses pendidikan dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi yang semula mengandalkan tatap muka langsung mencari alternatif lain. 

Sedianya perubahan yang dilakukan ini bukan karena inovasi dan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Melainkan berubah karena serangan Covid-19, jika tidak ingin disebut perubahan yang terlalu memaksakan. Dalam konsepnya mungkin sistem e-learning, belajar jarak jauh atau perkuliahan jarak jauh bisa menjadi solusi. Tapi pada konteks ini ‘das sain’ dengan ‘das solen’ tidak seiring sejalan. Dalam prakteknya tidak mudah karena banyak variabel kejutan yang tidak terduga yang turut berpengaruh dalam proses belajar atau kuliah jarak jauh.     

Walaupun sudah menerapkan sistem perkuliahan jarak jauh sebelumnya, namun bukan berarti ketika wabah virus Covid-19 ini menyerang, Perguruan Tinggi berlenggang begitu saja tanpa kendala sama sekali. Meskipun konsep belajar jarak jauh di beberapa Perguruan Tinggi sudah ada dan berjalan. Bahkan sudah ada aturannya yakni Undang-Undang Perguruan Tinggi nomer 12 tahun 2012, pasal 31 Pendidikan Jarak Jauh (PJJ).  Tapi kenyataanya tidak demikian. 

Terlalu naif bila civitas pendidikan pada perguruan tinggi tidak mengakui adanya problem dalam perkuliahan jarak jauh, misalkan adanya dosen yang kurang siap ketika berhadapan dengan teknologi kuliah jarak jauh, server yang kewalahan ketika jam perkuliahan berada pada beban puncak sehingga akses untuk sekadar absen login mahasiswanya saja tidak bisa. Sementara di kampus tersebut mengharuskan semua perkuliahan wajib login ke dalam sistem yang berada pada server tersebut. 

Ini merupakan kendala dan mahasiswalah yang dirugikan. Padahal kerugian yang dialami mahasiswa pada proses pendidikan atau perkuliahan adalah cacat akademik. Belum lagi mahasiswa yang tidak punya gadget untuk mendukung kuliah jarak jauh dan ada pula mahasiswa yang beralasan tidak punya kuota untuk sekadar ikut kuliah telekonferen bersama dosennya. Ditambah lagi kendala dosen pengampu mata kuliah yang sifatnya vokasi-praktek, seperti halnya kuliah teknik yang mengalami kesulitan dengan sistem kuliah jarak jauh ini, tapi dipaksakan harus jarak jauh ketika wabah Covid-19 menyerang.         

Selain bencana pada umat manusia, fenomena wabah Covid-19 juga menyadarkan kepada seluruh civitas pendidikan di Indonesia untuk berpikir serius merumuskan alternatif perkuliahan yang tidak selamanya bertatap muka. Belajar atau kuliah jarak jauh memang bisa menjadi solusi asal diterapkan dengan semangat “jarak jauh” bukan semangat "jarak dekat". Sewajarnya sistem kuliah jarak jauh tidak mengenal satu cara saja dan tidak mengenal fanatisme metode.  Baik guru, terlebih dosen harus mengedepankan kreativitas dalam menyampaikan materinya.

Sebagaimana yang tertera pada Undang-Undang Perguruan Tinggi nomer 12 tahun 2012, pasal 31 menjelaskan bahwa perkuliahan jarak jauh merupakan proses belajar-mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi. Dalam aturan tersebut makna kata “penggunaan berbagai media komunikasi” sepatutnya bisa dipahami sangat luwes tidak harus kaku berpatokan pada satu metode saja, satu gadget tertentu saja, menghambakan satu aplikasi tertentu atau satu web tertentu saja. 

Justru perkuliahan jarak jauh harus melepas semua baju kekakuan yang selama ini terdapat pada perkuliahan jarak dekat,  dalam hal ini tatap muka. Namun, dalam prosesnya baik dosen maupun mahasiswa harus tetap memperhatikan etika belajar-mengajar. Melalui sistem belajar atau kuliah jarak jauh ini seharusnya setiap orang dapat memperoleh akses terhadap pendidikan yang berkualitas seperti halnya pendidikan tatap muka yang reguler. Ujung dari hal ini semua kuliah bisa disambi aktivitas lain tanpa harus meninggalkan lokasi, tanpa harus tinggalkan karir. 

Belajar atau kuliah jarak jauh secara luas boleh dipahami sebagai sebuah sistem dalam proses pendidikan yang memiliki ciri keterbukaan dalam metode dan memanfaatkan teknologi yang tersedia, serta kemandirian dalam menjalani pengalaman belajar. Dengan berakhirnya wabah ini, tidak ada salahnya mengolaborasi metode kuliah tatap muka dengan sistem online bagi materi kuliah yang sifatnya vokasi-praktek. Wabah virus Covid 19 mengajari semua pemangku kepentingan dibidang pendidikan untuk mulai melakukan hijrah konsep mendidik dari yang konvensional ke arah yang lebih kreatif lagi.

*) Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi UBSI.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement