REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shibah dikabarkan meninggalkan Arab Saudi untuk pulang ke Tanah Air pada Selasa (10/11). Rizieq juga dilaporkan siap memimpin revolusi ketika sampai di Indonesia.
Menko Polhukam Mahfud MD, mengatakan, pemerintah secara terus terang tidak pernah membahas masalah Rizieq secara khusus bahwa kepulangannya bakal menimbulkan efek serius. Dia pun membandingkan kepulangan Rizieq yang jelas berbeda dengan pemimpin spiritual Syiah, yaitu Ayatollah Khomeini.
Khomeini yang meninggalkan tempat pengasingan di Kota Paris untuk pulang ke Iran memimpin revolusi akhirnya sukses menggulingkan pemerintahan Mohammad Reza Pahlavi pada 1979. Mahfun pun tidak khawatir dengan niatan Rizieq yang ingin memimpin revolusi di Indonesia.
"Karena Rizieq Shihab itu bukan Khomeini. Kalau Khomeini mau pulang dari Paris seluruh rakyatnya mau menyambut, karena Khomeini orang suci. Kalau Rizieq Shihab kan pengikutnya tidak banyak juga. Kalau dibandingkan dengan umat Islam pada umumnya. Jadi kita tidak khawatir juga," kata Mahfud di akun Youtube Cokro TV dikutip Republika, Kamis (5/11).
Mahfud melanjutkan, masalah Rizieq mau pulang atau tidak, itu urusan pribadi dia sendiri. Menurut dia, pemerintah maupun orang lain tidak tidak boleh menghalangi niat Rizieq untuk pulang kampung.
"Cuma yang saya tahu dari sumber informasi yang resmi, Rizieq Shihab itu sampai beberapa waktu yang lalu, memang dicekal pemerintah Arab Saudi, bukan pemerintah Indonesia, karena dianggap melakukan penghimpunan dana secara ilegal," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Menurut Mahfud, Rizieq dianggap melakukan kegiatan politik selama di Tanah Suci, sehingga dicekal tidak bisa pulang ke Indonesia sejak 2017. Dia menyatakan, sesudah itu masalah yang menimpa Rizieq diurus sehingga sekitar sebulan atau tiga pekan lalu, pemerintah Arab Saudi sudah mencabut larangan pulang ke Indonesia.
"Itu tidak cukup bukti, sehingga kasus itu dicabut, sehingga dia tidak lagi menjadi tersangka atau melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum," ucap Mahfud.
Mantan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu pun mengungkapkan, kasus Rizieq memang bermula ketika ada tuduhan dia disebut menghimpun uang secara ilegal. Setelah diselidiki, ternyata tuduhan itu salah. Mahfud menyebutkan, kasus itu bermula ketika Rizieq menerima tamu dari Indonesia yang datang kepadanya membawa uang atau amplop semacam tradisi di Nahdlatul Ulama (NU).
"Nah dia ada yang melaporkan oleh pemerintah (Arab Saudi) dicatat, diberi garis merah, bahwa ini tak boleh keluar, melakukan pengumpulan uang secara ilegal. (Larangan meninggalkan Arab Saudi) itu sudah dicabut," ucap Mahfud tanpa menjelaskan siapa orang yang melaporkan Rizieq ke Arab Saudi.
Mahfud menambahkan, status Rizieq yang melebihi ketentuan tinggal di Arab Saudi membuatnya harus dideportasi. Hal itu lantaran dia terbukti melakukan pelanggaran imigrasi tidak lebih lama dari ketentuan.
"Sekarang Rizieq ingin pulang, tapi tak ingin dideportasi, ingin pulang terhormat, itu urusan dia dengan Arab Saudi bukan dengan kita. Dugaan pidana itu tak ada lagi. Akan dideportasi melakukan pelanggaran keimigrasian," kata Mahfud.
Dalam acara yang dibawakan dosen Universitas Indonesia (UI) Ade Armando itu, Mahfud mengaku bahwa tidak ada permintaan pencekalan terhadap Rizieq yang dilakukan pejabat agar tidak bisa pulang ke Indonesia. "Selama saya menjabat jadi menteri, saya tidak pernah melakukan hal-hal seperti itu. Saya tanya BIN, polisi, menlu gak ada yang seperti itu," kata mantan menteri pertahanan tersebut.