Kamis 05 Nov 2020 16:45 WIB

Jepang Sesalkan AS Mundur dari Perjanjian Iklim Paris

Jepang menilai langkah AS akan berpengaruh pada upaya penanganan perubahan iklim

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Christiyaningsih
Demonstran berkumpul di luar Gedung Putih di Washington, Kamis, 1 Juni 2017 memprotes keputusan Presiden AS Donald Trump menarik diri dari perjanjian iklim Paris.
Foto: AP Photo/Susan Walsh
Demonstran berkumpul di luar Gedung Putih di Washington, Kamis, 1 Juni 2017 memprotes keputusan Presiden AS Donald Trump menarik diri dari perjanjian iklim Paris.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Pemerintah Jepang menyesalkan mundurnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Iklim Paris. Tokyo menilai hal itu akan berpengaruh pada upaya penanganan perubahan iklim.

“Masalah perubahan iklim bukanlah sesuatu dari satu negara, ia harus ditangani oleh seluruh komunitas internasional,” kata Kepala Sekretaris Kabinet Katsunobu Kato kepada wartawan pada Kamis (5/11).

Baca Juga

Peran komunitas internasional sangat ditekankan oleh Kato. "Dari sudut pandang itu, sangat disesalkan bahwa AS sekarang menarik diri dari Perjanjian Paris," ujarnya.

AS telah resmi keluar dari Perjanjian Iklim Paris. Presiden AS Donald Trump menilai ketentuan atau pasal yang termaktub dalam perjanjian tersebut merugikan negaranya. Di sisi lain, dia pun menuding perjanjian itu sebagai akal-akalan yang dimotori China.

Trump sempat mengatakan tak akan menempatkan AS menjadi negara pihak sebelum Perjanjian Paris dirombak. "Kami akan bergerak untuk menegosiasikan kesepakatan yang lebih adil dan tentunya tidak merugikan bisnis serta semua pekerja di AS," katanya.

Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement diadopsi pada Konferensi Perubahan Iklim PBB 2015 yang dilaksanakan di Paris, Prancis. Tujuan dari Perjanjian Paris serupa dengan Protokol Kyoto yakni menuntut berbagai negara, khususnya negara maju, untuk menekan emisi gas karbondioksida guna tetap menjaga suhu bumi di bawah dua derajat celcius.

Perjanjian Paris dibuka untuk ditandatangani pada 22 April 2016, bertepatan dengan peringatan Hari Bumi. Perjanjian ini mulai berlaku pada 4 November 2016, 30 hari setelah 55 negara yang menyumbang sedikitnya 55 persen dari emisi global meratifikasi perjanjian tersebut.

Sejak saat itu, lebih banyak negara yang meratifikasi Perjanjian Paris. Setidaknya telah terdapat 125 negara yang menjadi pihak dari perjanjian itu.

Mundurnya AS dari Perjanjian Iklim Paris sebenarnya menjadi tantangan signifikan bagi penanganan perubahan iklim. Hal itu mengingat Negeri Paman Sam merupakan negara penghasil gas karbon terbesar kedua di dunia.

Saat ini AS tengah menghelat pemilu presiden. Berbeda dengan Trump, capres dari Partai Demokrat Joe Biden memiliki komitmen lebih besar terkait isu perubahan iklim.

Biden berjanji akan membawa AS beralih dari industri minyak jika terpilih sebagai presiden. Mengekang polusi menjadi alasan utama mengapa dia ingin melakukan hal tersebut.

"Saya akan beralih dari industri minyak, ya," kata Biden saat ditekan Trump dalam debat final capres AS di Nashville, Tennessee, pada 22 Oktober lalu. Saat itu Trump mendesak Biden dengan pertanyaan apakah dia akan menutup industri minyak.

Dalam debat tersebut, Biden mengatakan AS perlu merangkul energi bersih seperti angin dan surya. Dia menekankan AS perlu secara bertahap beralih dari industri minyak. Biden mengkritik Trump karena memberi subsidi pada industri minyak, tapi pada saat bersamaan pemerintahannya gagal melakukan hal serupa kepada produsen energi bersih.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement