REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro
Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK) telah dilaksanakan, Rabu (4/11). Ada sejumlah aturan di UU Cipta Kerja yang Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS) uji ke MK.
Permohonan DPP FSPS yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUU-XVIII/2020 itu diajukan dengan diwakili oleh Deni Sunarya selaku Ketua Umum dan Muhammad Hafidz selaku Sekretaris Umum. Adapun materi yang dimohonkan untuk diuji, yaitu Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29, dan angka 44 UU Cipta Kerja.
Dalam persidangan secara virtual itu Hafidz mengatakan, muatan yang terkandung dalam pasal-pasal itu berpotensi merugikan hak-hak konstitusional anggotanya dan buruh lainnya. Hak-hak konstitusional yang telah ditetapkan dalam pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.
Ia mengatakan, UU tersebut telah menghilangkan perpanjangan jangka waktu, batas perpanjangan, serta perpanjangan dan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu atau PKWT. Selain itu, aturan itu juga ia nilai telah menghapus upah minimum dan menghilangkan uang perumahan serta pengobatan dan perawatan sebagai komponen dari kompensasi pemutusan hubungan kerja.
"Materi dalam UU Cipta Kerja tidak lebih baik dan justru lebih rendah dari UU Ketenagakerjaan," ujar Hafidz dalam keterangan pers dari laman resmi MK, Kamis (5/11).
Terhadap gugatan FSPS, ada sejumlah catatan perbaikan dari hakim konstitusi. Penggugat diperingatkan hakim agar betul-betul cermat terkait pasal-pasal yang diujimaterikan.
"Sekali lagi sauara dari federasi ini untuk betul-betul bekerja lagi, cermat memperbaiki. Jangan salah dan keliru di nomor-nomor pasal omnibusnya dan di nomor-nomor pasal yang dimohonkan pengujian, terlebih kalau pasal itu juga merujuk ke ayat di atasnya," ujar Hakim Konstitusi, Wahiduddin Adams, pada sidang yang dilakukan virtual, dikutip dari siaran Youtube MK, Kamis (5/11).
Wahiduddin menjelaskan, susunan materi yang hendak diuji oleh para pemohon terlalu menggeneralisasi. Itu berakibat pada adanya ketidaksinkronan antara objek yang diuji di dalam petitum pemohon. Menurut dia, nomor pasal yang disebutkan pemohon belum begitu jelas karena UU yang diuji merupakan omnibus law yang berisi perubahan lebih dari 70 UU.
"Walaupun saudara mengujinya di dalam klaster ketenangakerjaan yang terbatas ini, tapi karena UU ini satu sistem, nomornya itu, pasalnya, urutannya ada tapi bersamaan itu nomor pasal yang dihapus, yang dinyatakan tak berlaku lagi itu kan banyak yang sama," kata dia.
Dalam berkas permohonan para pemohon tidak terdapat nomor UU Cipta Kerja. Pemohon masih mengosongkan angka UU tersebut lantaran UU tersebut belum diberi nomor saat mereka mengajukan permohonan ke MK. Hal tersebut pun diminta untuk diperbaiki.
"Jangan dikatakan kan gampang saja hakim itu isi aja nomornya yang saya kosongin itu.' Tidak begitu ya. Kalau begitu ya di perpustakaan kita banyak dan hakim sudah punya sebetulnya (UU Cipta Kerja), tapi posisi saudara itu harus posisi (dijadikan) bukti," kata Wahiduddin.
Sementara itu, Hakim Konstitusi, Manahan MP Sitompul, menyarankan agar pemohon menguraikan secara jelas kedudukan hukum dan kerugian konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU Cipta Kerja. Manahan juga mengatakan, dalam mengemukakan kerugian hak konstitusional mana norma-norma yang bertentangan dengan UU Cipta kerja.
Kemudian Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, menyarankan pemohon untuk memastikan kedudukan hukum pemohon, apakah itu sebagai perseorangan atau badan hukum publik. Sebelum menutup persidangan, Arief menyampaikan agar pemohon menyerahkan perbaikan permohonan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Selasa 17 November 2020 pukul 13.30 WIB.
Tim kerja
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan akan membentuk tim kerja untuk menampung dan mengolah masalah yang timbul dari pembentukan UU Cipta Kerja. Tim tersebut akan berisi akademisi dan tokoh masyarakat.
"Kita membentuk tim kerja yang sifatnya netral bukan dari pemerintah, tapi dari akademisi dan tokoh masyarakat untuk mengolah dan menampung masalah-masalah yang muncul dari itu," kata Mahfud dalam keterangannya, Kamis (5/11).
Mahfud menyebutkan, tim tersebut dibentuk agar dalam proses perbaikan, baik lewat judicial review, legislatif review, atau penuangan didalam peraturan-peraturan turunan, semuanya bisa terakomodasi. Dia mengatakan, UU Cipta Kerja yang tujuannya baik tidak menutup kemungkinan untuk diperbaiki.
"Nah, sebuah tujuan yang baik pasti tidak menutup kemungkinan untuk diperbaiki, itu aja," kata Mahfud.
Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, sebelumnya telah menyarankan pemerintah agar membentuk tim untuk mengkaji dan menampung aspirasi masyarakat yang tak puas atas UU Cipta Kerja. Menurut dia, pemerintah harus berani berdialog dengan rakyat yang tidak puas dengan adanya UU tersebut.
"Ada baiknya jika pemerintah membentuk tim untuk mengkaji dan sekaligus menampung aspirasi masyarakat yang tidak puas atas UU ini," ujar Yusril kepada Republika, Rabu (4/11).
Yusril mengatakan, langkah itu penting dilakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat pemerintah tanggap terhadap aspirasi dan sadar UU Nomor 11 Tahun 2020 itu perlu disempurnakan. Dia menilai, terjadinya demo besar-besaran di berbagai kota tidaklah dapat dipandang sepi.
"Aspirasi para pekerja, akademisi, aktivis sosial dan mahasiswa sangat perlu mendapat tanggapan pemerintah sebagai pelaksanaan demokrasi," kata dia.