REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2020 yang kembali terkontraksi bukan hal mengagetkan. Seperti diketahui pada periode tersebut pertumbuhan ekonomi nasional minus 3,49 persen.
"Sudah bisa kita prediksi sebelumnya. Kami tetap positif pada kuartal 4 (Q4) dan ke depannya akan lebih baik karena faktor-faktor ekonomi yang cukup mendukung," ujar Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta W Kamdani kepada Republika.co.id, Kamis (5/11).
Faktor itu meliputi adanya peningkatan produktivitas dalam jangka pendek, lalu dorongan normalisasi ekonomi yang lebih kuat dari berbagai partner dagang di Asia Pasifik, dan konsumsi akhir tahun. Termasuk proyeksi peningkatan distribusi stimulus bagi korporasi, proyeksi pengendalian pandemi yg lebih positif karena semakin mendekati temuan vaksin yang mendukung normalisasi ekonomi, dan lainnya.
"Di Q4 ini kami harap pemerintah bisa bekerja lebih keras lagi memacu normalisasi ekonomi dan peningkatan confidence konsumsi masyaraka. Juga menggenjot stimulus baik supply maupun demand," jelas Shinta.
Bagi pelaku usaha, kata dia, proyeksi tekanan ekonomi diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga sepanjang tahun depan di hampir semua sektor. "Kami perkirakan sekitar 50 persen pelaku usaha dari berbagai sektor masih akan tertekan sepanjang tahun depan dan angka ini bisa lebih tinggi bila vaksin lebih lambat ditemukan atau didistribusikan atau terdapat masalah lain pada vaksin sehingga tidak menciptakan perbaikan confidence yg cukup signifikan di masyarakat untuk melakukan ekspansi kegiatan ekonomi," jelasnya.
Bagi beberapa sektor seperti penerbangan, pariwisata, dan hotel, lanjutnya, proyeksi tekanannya masih akan terus berlangsung melebihi tahun depan. Kemungkinan pada 2023 atau 2024 baru bisa kembali normal.
"Jadi masih berat hingga sepanjang tahun depan dan untuk pulih hingga ke level sebelum pandemi perlu proses panjang. Kondisi kita sangat jauh berbeda dengan China yang bisa keluar dari krisis dalam satu kuartal karena supporting factor-nya tidak sama dan kemampuan ekonomi kita tidak sekuat itu dalam membendung pandemi," ujar dia.
Shinta melanjutkan, kepercayaan diri pasar global terhadap iklim usaha indonesia dan level produktivitas ekonomi nasional juga lebih rendah dibandingkan China. Maka, katanya, negeri ini harus bekerja keras.
"Jika Indonesia tidak bekerja keras menciptakan iklim ekonomi yang positif dan terus-menerus menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat dan pelaku usaha serta terus meningkatkan produktivitas di sektor-sektor ekonomi yang masih potensial di saat krisis, kondisi technical recession ini bisa berkepanjangan. Sebab cukup sulit bagi Indonesia bisa memacu kinerja dan produktivitas ekonomi nasional selama pandemi masih berlangsung, karena kenyataannya peningkatan confidence konsumsi masyarakat tidak bisa diciptakan hanya dengan stimulus-stimulus konsumsi," jelasnya.