REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menilai pernyataan Presiden Perancis, Macron, terkait karikatur Nabi Muhammad sungguh menyanyat dan melukai hati umat Islam. Atas dasar itu, Macron menilai Islam dalam konotasi negatif, Islam diidentikan dengan kekerasan, bahkan teroris.
"Pernyataan Macron sangat bermuatan etnosentris. Macron beranggapan nilai yang dianut bangsanya lebih baik daripada nilai yang dianut Islam," ujar Jamiluddin dalam keterangan tertulisnya, Jumat (6/11)
Sebaliknya, kata Jamiluddin, Macron ingin menggambarkan bangsanya penganut demokrasi, anti kekerasan, dan pembawa perdamaian. Etnosentrisme Macron tampaknya memang menggejala pada sebagian rakyat Prancis dan warga Eropa pada umumnya.
"Itulah sebabnya, mengapa Macron menilai negatif terhadap seorang Islam yang melakukan pembunuhan atau perilaku kekerasan lainnya," ungkap Jamiluddin.
Lanjut Jamiluddin, semua penilaian itu disebabkan prasangka yang sudah bersemi pada diri Macron dan warga Eropa lainnya. Prasangka inilah yang membuat warga Eropa selalu menilai Islam teroris, radikal, anti demokrasi, dan intoleran.
Menurutnya, selama Macron masih bersikap etnosentris dan prasangka demikian, maka komunikasi yang dibangun tidak akan pernah positif. Muatan empati pun tidak akan mengemuka.
Karena itu, lanjut Jamiluddin, komunikasi yang dilakukan Macron akan dinilai negatif pula oleh pihak Islam. Komunikasi seperti inilah yang disharmonis, bahkan bermuara pada pemboikotan produk-produk Prancis.
Jadi, untuk menghilangkan prasangka pada kedua belah pihak. Maka sikap etnosentris harus dihilangkan. Merasa nilainya lebih baik daripada nilai pihak lain harus sudah ditanggalkan.
"Kalau itu dapat diatasi oleh kedua belaha pihak, maka kesetaraan dapat diwujudkan. Hanya dengan kesetaraan komunikasi yang berempati dapat dilakukan, sehingga harmonis antarpihak dapat diwujudkan," tutur penulis buku 'Perang Bush Memburu Osama' tersebut.