Jumat 06 Nov 2020 19:49 WIB

KKP Gencarkan Pelatihan Budi Daya Ikan

Di tengah pandemi, sektor pertanian salah satu yang masih berkontribusi poisitif.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Gita Amanda
Seorang pembudidaya melakukan penyortiran ikan Lele, (ilustrasi). KKP gencarkan pelatihan budidaya ikan.
Foto: Antara/Rahmad
Seorang pembudidaya melakukan penyortiran ikan Lele, (ilustrasi). KKP gencarkan pelatihan budidaya ikan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengembangan kegiatan budidaya perikanan menjadi salah satu prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) guna meningkatkan perekonomian masyakat. Untuk itu, selain menggalakkan berbagai inovasi program budidaya ikan, KKP melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) juga aktif menggelar berbagai pelatihan hingga percontohan penyuluhan untuk menyokong sektor budidaya ini.

Kepala BRSDM Sjarief Widjaja mengatakan KKP juga telah menggelar pelatihan pembesaran ikan air tawar dan pelatihan pembesaran ikan lele dengan sistem bioflok yang diselenggarakan melalui Balai Pelatihan dan Penyuluhan Perikanan (BPPP) Bitung pada 4-5 November 2020 bagi masyarakat Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan dan pelatihan pembesaran ikan air tawar digelar oleh BPPP Tegal bagi 100 pembudidaya ikan Kabupaten Purwakarta pada 5-6 November 2020.

Baca Juga

"Pada kondisi sulit di tengah pandemi Covid-19 ini, subsektor perikanan salah satu yang masih dapat berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, di saat sektor lain seperti transportasi dan pariwisata mengalami pukulan berat," ujar Sjarief dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (6/11).

Hal ini, kata Sjarief, terjadi karena meski di tengah pandemi, 268 juta jiwa rakyat Indonesia tetap membutuhkan asupan protein. Sjarief menyebut konsumsi ikan nasional sebesar 54,49 kg per orang per tahun sehingga total kebutuhan konsumsi ikan Indonesia sekitar 14 juta ton per tahun. Itu didapat dari perikanan tangkap dan perikanan budidaya.

Sjarief melanjutkan, saat ini pemerintah juga tengah memacu pertumbuhan produktivitas perikanan budidaya, misalnya melalui penerapan teknologi baru sistem bioflok maupun recirculating aquaculture system (RAS).

"Sistem ini dipercaya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas pengembangan budidaya skala rumah tangga karena dapat dilakukan di lahan yang sempit, seperti di perkarangan belakang rumah dengan tetap menjamin pemenuhan kebutuhan oksigen dan udara," lanjut dia.

Secara umum, ucap Sjarief, pada budidaya ikan secara intensif, semakin tinggi padat tebar, semakin banyak pula kebutuhan pakan, semakin banyak kebutuhan air, dan semakin banyak limbah yang dibuang. Untuk menekan kebutuhan air dan pakan serta meminimalkan buangan limbah ini, diperlukan teknologi budidaya yang sesuai.  

"Teknologi sistem bioflok dinilai sebagai jawabannya. Selain minim limbah, sistem ini juga sekaligus dapat mendaur ulang limbah menjadi pakan budidaya. Budidaya sistem ini juga tidak menghasilkan bau yang tidak sedap sehingga dapat diterapkan di mana saja," ucap Sjarief.

Menurut Sjarief, teknologi ini memang bukan teknologi yang sangat baru, akan tetapi juga belum umum diterapkan masyarakat. Kebanyakan masyarakat menggunakan sistem bioflok pada budidaya ikan lele. Untuk itu, pihaknya juga merekomendasikan sistem ini untuk kegiatan budidaya jenis ikan lainnya.

Selain persoalan teknologi, lanjut Sjarief, masalah yang tak kalah penting dalam kegiatan budidaya adalah tingginya kebutuhan dan harga pakan. Sjarief menyebut, kebutuhan pakan ini menelan lebih dari 60 persen biaya produksi. Komponen pakan yang paling mahal harganya adalah tepung ikan yang digunakan sebagai sumber protein hewani dalam formulasi pakan buatan.

"Sementara itu, hanya sekitar 25 persen sampai 30 persen dari kandungan protein pakan yang diubah menjadi daging untuk pertumbuhan. Sisanya terbuang dalam bentuk feses, urine, dan ammonia yang pada tingkatan tertentu dapat meracuni ikan," ungkapnya.

Dengan teknologi bioflok, kata Sjarief, senyawa nitrogen anorganik (terutama yang bersifat racun pada ikan) didaur ulang menjadi protein sel mikroba sehingga bisa dimakan hewan pemakan detritus seperti nila, udang vaname, dan ikan lele. Hal ini karena sistem bioflok pada prinsipnya mengembangkan komunitas bakteri yang menguntungkan di dalam kolam.  

"Budidaya sistem bioflok ini juga terbukti lebih stabil daripada sistem yang didominasi algae (plankton) karena tidak tergantung sinar matahari," ucap Sjarief.

Menurut Sjarief, peningkatan minat masyarakat berbudidaya ikan ini juga telah terlihat dari peningkatan jumlah peserta pelatihan yang digelar KKP. Pada 2020, KKP menargetkan pelatihan bagi 25.200 orang. Hingga Oktober 2020 ini, KKP telah melatih 46.200 orang.

"Peningkatan ini selain dampak dari adaptasi pelatihan dengan teknologi digital, juga menunjukkan peningkatan signifikan minat masyarakat untuk berbudidaya ikan," kata Sjarief menambahkan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement