Jumat 06 Nov 2020 21:15 WIB

Surat Al-Ikhlas, Mengapa Disebutkan Kata Allah SWT 2 Kali?

Surat Al-Ikhlas di antara surat yang berbicara keesaan Allah SWT

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Nashih Nashrullah
Surat Al-Ikhlas di antara surat yang berbicara keesaan Allah SWT. Ilustrasi membaca Alquran (ilustrasi)
Foto: PPPA Daarul quran
Surat Al-Ikhlas di antara surat yang berbicara keesaan Allah SWT. Ilustrasi membaca Alquran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Surat Al-Ikhlas berarti suci atau murni yang terdiri dari empat ayat dan tergolong surat Makkiyah atau surat yang diturunkan di Kota Makkah. 

Surat ini menggambarkan tentang keesaan dan Kemurnian Allah SWT. Ayat satu berbunyi : قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ Qul huwallāhu aḥad. “Katakanlah! Dia Allah Yang Maha-Esa.”

Baca Juga

Dijelaskan dalam buku Tafsir Al-Mishbah oleh M Quraish Shihab, ayat di atas menyatakan : Katakanlah  wahai Nabi Muhammad kepada mereka yang bertanya bahkan kepada siapapun, Dia Yang Wajib wujud-Nya dan yang berhak disembah adalah Allah Tuhan Yang Maha-Esa.

Kata qul atau katakanlah membuktikan Rasulullah SAW ketika menyampaikan segala sesuatu, dia terima dari ayat-ayat Alquran yang disampaikan malaikat Jibril. Sedangkan kata huwa diterjemahkan Dia. Dalam konteks ini, kata huwa disebut dhamîr asy-sya’n atau al-qishshah atau al-hâl

Menurut Mutawalli Asy-Sya’râwi, Allah adalah ghaib. Tetapi, kegaiban-Nya mencapai tingkat syahâdat atau nyata melalui ciptaan-Nya. Dengan demikian, jika Anda berkata huwa atau Dia, sama halnya Anda katakan al-hâl (keadaan) yang sebenarnya adalah Allah Maha-Esa.  

Sementara pakar tafsir Al-Qâsimi memahami kata huwa sebagai fungsi menekankan kebenaran dan kepentingan berita. Yakni apa yang disampaikan itu merupakan berita benar yang haq dan didukun bukti-bukti yang tidak diragukan.

Seorang pakar tafsir Abû As-Su’ûd menulis dalam tafsirnya menempatkan kata huwa untuk menunjuk kepada Allah. Hal ini guna memberi kesan, Dia yang Maha Kuasa itu sedemekian nyata sehingga hadir dalam benak setiap manusia dan kepada-Nya selalutertuju segala isyarat.

Kata Allâh adalah nama bagi suatu Wujud Mutlak, berhak disembah, Pencipta, Pemelihara, dan Pengatur alam semesta. Dialah Tuhan yang Maha Esa, yang disembah dan diikuti segala perintah-Nya.

Yang jelas, kata Allah menunjuk kepada Tuhan yang Wajib Wujud-Nya. Berbeda dengan kata ilâh yang menunjuk kepada siapa saja yang dipertuhankan, baik itu Allah maupun selain Dia. Misal, matahari yang disembah.

Kata terakhir, Ahad atau Esa terambil dari akar kata wahdah atau kesatuan. Sama halnya kata wâhid yang berarti satu. Kata ahad bisa berfungsi sebagai nama dan sifat. Apabila ia berfungsi sebagai sifat, itu berarti hanya bisa digunakan untuk Allah. Dalam ayat ini, ahad berfungsi sebagai sifat Allah. 

Berarti Allah memiliki sifat tersendiri yang tidak dimiliki selain-Nya. Sehingga diartikan Allah Maha Esa. Keesaan Dzat, keesan sifat, keesaan perbuatan, serta keesaan dalam beribadah kepada-Nya.

Ayat kedua surat Al-Ikhlas berbunyi : اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ Allāhuṣ-ṣamad. Artinya : “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu” 

Ayat di atas menjelaskan kebutuhan makhluk kepada-Nya, yakni hanya Allah Yang Maha-Esa adalah tumpuan harapan yang dituju semua makhluk guna memenuhi segala kebutuhan, permintaan mereka, dan bergantung kepada-Nya dari segala sesuatu.

Kata ash-shamad terambil dari kata kerja shamada artinya menuju. Ash-shamad adalah kata jadian yang berarti dituju. Mayoritas pakar bahasa dan tafsir memahami arti ash-shamad sebagai Allah adalah Dzat yang kepada-Nya mengarah semua harapan makhluk, Dia yang didambakan dalam pemenuhan kebutuhan makhluk serta penanggulangan kesulitan mereka.

Dalam ayat kedua ini kata Allâh diulang sekali lagi. Ini untuk memberi isyarat, siapa yang tidak memiliki sifat ash-shamadiyah atau dengan kata lain tidak menjadi tumpuan harapan secara penuh, maka ia tidak wajar dipertuhankan. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement