REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Ketua Tim Advokasi dan Surveilans Covid-19 Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair, Windhu Purnomo, mengatakan, Jawa Timur masih memiliki pekerjaan rumah (PR) menurunkan angka kematian Covid-19. Berdasarkan data resmi Satgas Covid-19 Jatim, per Jumat (6/11), angka kematian (case fatality rate) di Jatim mencapai 7,16 persen dari total kasus terkonfirmasi positif.
Dimana dari jumlah kumulatif kasus Covid-19 Jatim yang mencapai 54.080 pasien, 3.870 orang di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Bahkan, angka kematian pasien Covid-19 di Jatim, menjadi yang tertinggi di tingkat nasional.
"Ini bukan gambaran baik. Ini yang harus dikejar. Di Surabaya misalnya, kasus kematiannya berkontribusi cukup besar. Jatim itu hampir 7,2 persen, Surabaya itu 7,3 persen," ujar Windhu dikonfirmasi Jumat (6/11).
Jumlah kematian yang masih tinggi di Jatim ini, kata Windhu, cukup mengherankan. Sebab, jumlah kasus aktif harian di Jatim sebenarnya sudah melandai. Seharusnya, rumah sakit sudah tidak terbebani lagi dengan pasien membludak. Per 29 Oktober 2020, tingkat okupansi tempat tidur (bed occupancy rate) di rumah sakit rujukan Covid-19 di Jatim hanya 42 persen.
"Jadi kasus aktif memang cenderung turun yang sembuh meningkat, maka seharusnya rumah sakit tidak terbebani. Tetapi kenapa kematian masih tinggi?" ujarnya.
Windhu mengatakan, faktor utamanya bisa jadi karena banyaknya masyarakat yang belum melindungi anggota keluarga, tetangga, atau orang di sekitarnya yang rentan atau memiliki penyakit penyerta (komorbid). Orang-orang rentan, kata Windhu, seharusnya bisa dilindungi. Karena daya tahan tubuhnya lebih lemah ketimbang orang yang tidak memiliki penyakit penyerta, atau yang usianya masih muda.
"Keluarga yang sudah sepuh masih diajak ke mal, diajak liburan atau pulang kampung. Atau masih ditamoni (didatangi atau dikunjungi tamu), bertemu orang lain sehingga akhirnya tertular," kata dia.
Juru Bicara Satgas Covid-19 Jatim Makhyan Jibril mengakui, tingkat kematian di Jatim memang masih menjadi pekerjaan rumah yang harus ditangani bersama, baik oleh Satgas Covid-19 Jatim maupun masyarakat. Menurutnya, faktor yang memengaruhi tingginya tingkat kematian akibat Covid-19 di Jatim ini juga cukup beragam. Salah satunya kecenderungan masyarakat yang tidak segera memeriksakan diri ketika terpapar.
"Masyarakat itu ketika terpapar sudah lebih dulu takut. Tidak segera periksa ke dokter. Begitu ditangani, kondisinya sudah bisa dikatakan hipoksia atau sudah kekurangan oksigen atau masuk kategori berat," ujarnya.
Selain itu, berdasarkan data Satgas Covid-19, tingkat kematian di Jatim sebanyak 91 persen disertai penyakit penyerta seperti jantung, diabetes, dan lain sebagainya. Menurut Jibril, fenomena kematian itu seperti Russian Roulette. "Russian Roulette itu, yang kena satu tapi sembilan lainnya bisa jadi OTG. Nah salah satunya yang kena kalau disertai komorbid akhirnya gejalanya menjadi berat," ujarnya.