REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Ethiopia di ambang perang saudara yang mengancam stabilitas salah satu kawasan paling strategis di dunia, Tanduk Afrika. Ethiopia merupakan salah satu negara Afrika yang paling kuat dan terbanyak jumlah penduduknya.
Namun, kondisi sekutu utama keamanan Amerika Serikat (AS), sejak rabu Rabu (4/11) mulai memanas karena komunikasi terputus di wilayah utara Tigray, Ethiopia. Perdana Menteri Abiy Ahmed mengumumkan telah memerintahkan pasukan untuk menanggapi serangan mematikan yang diduga dilakukan oleh pasukan Tigray di pangkalan militer di sana. Kedua belah pihak saling menuduh yang memulai pertempuran.
Kedua pihak meningkatkan tekanan pada Kamis (5/11) malam. Tentara Ethiopia mengatakan pihaknya mengerahkan pasukan dari seluruh negeri ke Tigray, dan pemimpin Tigray, Debretsion Gebremichael, menuduh bahwa jet tempur telah mengebom beberapa bagian ibu kota regional. Korban dilaporkan berjatuhan di kedua sisi.
"Kami siap menjadi martir," ujar Gebremichael. International Crisis Group memperkirakan bahwa pasukan paramiliter TPLF dan milisi lokal memiliki sekitar 250.000 tentara.
Beberapa ahli telah membandingkan konfrontasi yang terjadi dengan perang antar-negara. Ethiopia adalah salah satu negara Afrika dengan persenjataan paling baik, dan Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) mendominasi militer dan pemerintah Ethiopia sebelum Abiy menjabat pada 2018.
Koalisi yang berkuasa di Ethiopia menunjuk Abiy sebagai perdana menteri pada 2018 untuk membantu menenangkan protes anti-pemerintah selama berbulan-bulan. Dia dengan cepat memenangkan pujian dan penghargaan Nobel karena membuka ruang politik dan membatasi tindakan represif di negara berpenduduk sekitar 110 juta orang dan sejumlah etnis. Tapi TPLF merasa semakin terpinggirkan, dan tahun lalu mundur dari koalisi yang berkuasa.
TPLF keberatan dengan pemilihan yang tertunda di Ethiopia karena Covid-19 dan memperpanjang masa jabatan Abiy. Pada September, wilayah Tigray memberikan suara dalam pemilihan lokal yang oleh pemerintah federal Ethiopia disebut ilegal. Pemerintah federal kemudian mengalihkan dana eksekutif TPLF ke pemerintah daerah, membuat marah para pemimpin. Pada awal pekan ini, Gebremichael memperingatkan konflik berdarah bisa meletus.
Konflik dapat menyebar ke bagian lain Ethiopia yang telah menyerukan otonomi lebih. Ditambah lagi berkobarnya kekerasan etnis yang mematikan telah membuat pemerintah federal memulihkan tindakan termasuk menangkap para kritikus.
Mengatasi ketakutan itu, wakil kepala militer Ethiopia, Birhanu Jula, mengatakan masalah Tigray akan tetap berada di sana. Namun, para ahli berpendapat beda. "Ini seperti menyaksikan kecelakaan kereta api dalam gerakan lambat," kata perwakilan International Crisis Group, Dino Mahtani.
Beberapa pemerintah dan ahli mendesak untuk berdialog dengan Tigray. Hanya saja, diplomat Barat di ibu kota, Addis Ababa, mengatakan kalau pemerintah melakukan itu artinya menganggap kelompok TPLF setara, padahal mereka dinilai pemberontak.
"Jika saya mengatakan saya akan menghancurkan Anda, maka apakah benar-benar ada ruang untuk perundingan?" ujar diploma tersebut.
TPLF sebelum pertempuran mengatakan tidak tertarik untuk bernegosiasi dengan pemerintah federal. Mereka mencoba meminta pembebasan para pemimpin yang ditahan sebagai prasyarat untuk melakukan pembicaraan.