REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengkritisi pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di masa pandemi Covid-19. KPAI menilai PJJ justru memperlebar jarak antara siswa dari kelompok miskin dan kaya.
Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyebut PJJ malah menyulitkan siswa tidak mampu karena tak memiliki gawai memadai. Alhasil bantuan kuota dari Kemendikbud tak berpengaruh besar bagi mereka.
Jurang akses pendidikan pun makin lebar berkat PJJ. Siswa dari keluarga mampu memiliki gawai mumpuni untuk menopang PJJ.
"Disparitas PJJ ini antara anak keluarga kaya dan miskin sangat jauh. Sangat tidak terlayani yang miskin. Sebenarnya (disparitas) sudah ada sebelum pandemi dan terus diperparah," kata Retno dalam talkshow virtual pada Jumat (6/11).
Retno juga menemukan hal lain dari hasil pengawasan PJJ oleh perwakilan KPAI seluruh Indonesia. Salah satunya PJJ sangat sulit dimanfaatkan siswa di luar Jawa. Mereka mengalami keterbatasan dalam mengakses sinyal dan sebagian juga tak punya gawai.
"Anak-anak di luar Jawa 50 persen enggak terlayani PJJ. Bantuan kuota juga kemungkina tidak terpakai karena banyak anak-anak tak punya gawai. Sehingga bantuan jadi tidak sampai," ujar Retno.
Atas dasar inilah Retno meminta Kemendikbud mengevaluasi mendalam pelaksanaan PJJ. Segala hambatan PJJ perlu ditemukan solusinya karena tak ada yang tahu kapan pandemi berakhir.
Masalah PJJ, lanjut Retno juga bukan sekedar sinyal dan kepemilikan gawai. Ia mengingatkan guru untuk tak sekadar memberi tugas tanpa arahan memadai. Hal ini akan menyulitkan siswa memahami materi pelajaran.
"Disayangkan orientasinya kasih tugas saja. Siswa kekurangan interaksi tapi terus dikasih tugas. Guru harus pantau murid misalnya dari tugas ada yang enggak pernah ngumpulin diperhatikan dia kenapa. Dievaluasi. Jangan dimarahin," ucap Retno.
KPAI terus mendengungkan evaluasi pelaksanaan PJJ. Sebelumnya terjadi kasus bunuh diri siswa SMP di Tarakan yang diduga karena keberatan menjalankan tugas-tugas selama PJJ. Retno menjelaskan, ia sudah mendengar penjelasan orang tua korban yang mengatakan korban memiliki 11 tagihan tugas mata pelajaran.
Menurut orang tuanya, korban tidak mengerjakan tugas bukan karena malas. Namun, korban merasa kesulitan mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Sementara itu, orang tua korban tidak bisa banyak membantu terkait pengerjaan tugas tersebut.