Sabtu 07 Nov 2020 17:00 WIB

Bangladesh Buka Sekolah Untuk Transgender

Bangladesh membuka sekolah agama pertama untuk siswa transgender

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
Bendera Bangladesh
Foto: blogspot.com
Bendera Bangladesh

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Bangladesh membuka sekolah agama pertama untuk siswa transgender. Lebih dari 150 siswa akan belajar mata pelajaran Islam dan mata pelajaran lainnya di sekolah swasta yang berbentuk madrasah atau seminari di ibu kota Dhaka.

Bangladesh mulai mengakui transgender sebagai gender ketiga. Kini mereka dapat hak untuk memilih dalam pemilihan umum. Akan tetapi di masyarakat yang konservatif sulit bagi mereka untuk mendapatkan akses pendidikan dan pekerjaan.

Baca Juga

Sebagian pindah ke kota dan menghidupi diri dengan bernyanyi dan menari di pesta pernikahan atau kelahiran. Sebagian terpaksa menjadi pengemis atau menjadi pekerja seks komersial.

Pemerintah Bangladesh mengatakan mereka memiliki 10 ribu hijras atau transgender. Diperkirakan jumlah transgender di negara Asia Selatan itu mencapai 50 ribu. Hampir semuanya laki-laki bertransisi menjadi perempuan.

Pada Jumat (6/11) BBC melaporkan pejabat sekolah, anggota dewan lokal, dan tokoh masyarakat transgender menghadiri pembukaan sekolah Madrasah Dawatul Quran Jenis Kelamin Ketiga yang terletak di dekat jembatan Lohar di daerah Kamrangirchar. Kelas yang digelar di bangunan tiga lantai akan dimulai pada Sabtu (7/11).

Hingga saat ini tidak ada sekolah khusus transgender di Bangladesh. Masyarakat transgender dari segala umur dapat mendaftar ke sekolah tersebut. Harapannya setelah mereka lulus mereka dapat bekerja di berbagai bidang.

"Biasanya seseorang diidentifikasi berjenis kelamin ketiga ketika berusia dewasa. Karena itu kami tidak menetapkan batasan usia. Siapa pun dapat mendaftar jika ia diidentifikasi sebagai transgender, tidak peduli usianya," kata sekretaris pendidikan dan pelatihan madrasah, Mohammad Abdul Aziz Hussaini, pada BBC.

Salah satu siswa, Shilpy, mengatakan sebagian besar transgender tidak bisa membaca. Ia mengatakan tidak ada yang bersedia memberikan pekerjaan.

"Apabila kami memiliki pendidikan, kami dapat bekerja pekerjaan yang lebih baik. Tidak ada sistem pendidikan, itu mengapa pendahulu kami mencari uang dengan menari dan bernyanyi," katanya.

Shilpy yang dalam bahasa Bengali artinya 'seniman' itu sempat bersekolah hingga umur sembilan tahun. Ia keluar karena perundungan.

"Ketika saya sadar saya seorang transgender, semua orang di sekolah membenci saya. Saya takut, mereka mengkritik saya. Itu mengapa saya tidak lagi belajar. Jika ada sistem membaca bagi kami, tidak ada yang mengejek," ungkapnya.

Hussaini mengatakan banyak transgender di Bangladesh yang diabaikan keluarga atau masyarakatnya. Ia mengatakan banyak orang tua yang tidak menerima anaknya transgender.

"Kami ingin mereka bukan beban masyarakat. Kami memutuskan untuk mendirikan madrasah ini sehingga mereka bisa belajar Alquran dan mendapat pekerjaan yang bermartabat," kata Hussaini.

Shilpy menyambut baik inisiatif madrasa untuk transgender ini, entah didirikan oleh pemerintah atau swasta. "Kami juga ingin seperti orang-orang lain, berjalan dengan hormat, kami juga ingin berdiri dengan kaki kami sendiri. Jika kami memiliki kesempatan, saya akan menempuh jalan itu," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement