REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Masyarakat Myanmar bersiap bertandang ke tempat pemungutan suara untuk menjalani pesta demokrasi kedua setelah kekuasaan militer. Pemilihan tahun ini diperkirakan akan membawa Aung San Suu Kyi ke tampuk kekuasaan.
Namun, ada sekitar 2,6 juta orang yang tidak dilibatkan dalam pemilihan tahun ini. Partai National League for Democracy (NDL) yang dipimpin Aung San Suu Kyi memang semakin populer sejak 2015.
Pandemi virus corona, krisis ekonomi, dan ketegangan di sebagian wilayah membayangi pemilihan umum tahun ini. Terutama belum selesainya isu pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan militer terhadap masyarakat minoritas Rohingya pada 2017 lalu.
NDL diperkirakan akan tetap mempertahankan kekuasaannya. Banyak masyarakat Myanmar yang memuja Aung San Suu Kyi sebagai ibu bangsa. Popularitasnya semakin tinggi setelah ia memutuskan datang ke Den Haag untuk membela Myanmar dari tuduhan genosida.
Namun masyarakat minoritas semakin apatis padanya. Sekitar 1,5 juta pemilih dari etnik minoritas di wilayah konflik tidak dapat berpartisipasi dalam pemilihan umum dengan alasan keamanan. Sebagian dari mereka adalah umat Buddha di Rakhine.
Pada Sabtu (7/11), The Guardian melaporkan mereka dapat memilih pada 2015 lalu tapi tahun ini tidak. Sementara 1,1 juta warga Rohingya memang sudah tidak mendapatkan kewarganegaraan dan hak untuk memilih.
Organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) Human Rights Watch mengungkapkan keprihatinan mereka mengenai hal ini. HRW mengatakan, pemilihan di Myanmar 'catat secara fundamental'.
Keputusan untuk melarang warga di wilayah konflik untuk memilih dinilai memanas ketegangan. Menurut pengamat independen David Mathieson, hal ini akan menjadi alat propaganda kelompok pemberontak di Rakhine, Arakan Army.
"(Mereka akan mengatakan) kami sudah katakan Anda tidak bisa mempercayai sistem politik. Kami sudah beritahu Anda jangan percaya pemerintah dan militer, satu-satunya cara mendapatkan perhatiannya adalah berperang," kata Mathieson.
Mathieson menambahkan pemungutan suara dibatalkan walaupun pertempuran terbatas. Sekitar 38 juta orang memiliki hak suara untuk memilih termasuk lima juta anak muda yang pemilih pertama. Sekitar 90 partai berebut kekuasaan dengan NDL.
Berdasarkan konstitusi, seperempat kursi parlemen disediakan untuk militer. Pekan ini panglima militer menegaskan kekuasaannya dengan menuduh pemerintah sipil melakukan 'kesalahan yang tidak bisa diterima' dalam menjalankan pemilihan umum.
Panglima Militer Min Aung Hlaing mengatakan militer adalah 'penjaga' negara. Angka partisipasi pemilih diperkirakan lebih rendah dibandingkan pemilihan 2015 karena meningkatnya apatisme.
Kelompok pinggiran All Burma Federation of Students Unions menyerukan boikot pemilihan umum. Mereka menuduh pemerintah gagal menggelar reformasi demokrasi.
Kantor berita Reuters melaporkan sejumlah anggotanya menghadapi hukuman penjara hingga lima tahun karena terlibat dalam unjuk rasa anti pemerintah. Sementara puluhan lainnya bersembunyi.