Ahad 08 Nov 2020 08:19 WIB

Kebijakan Perdagangan Biden akan Membidik China

Joe Biden berhasil memenangkan Pilpres AS 2020.

Calon presiden Amerika Serikat dari partai Demokrat, Joe Biden, memenangi Pemilihan Presiden AS 2020.
Foto: EPA-EFE/JIM LO SCALZO
Calon presiden Amerika Serikat dari partai Demokrat, Joe Biden, memenangi Pemilihan Presiden AS 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden terpilih Joe Biden telah berjanji untuk bekerja lebih dekat dengan sekutu AS dalam menghadapi China dalam perdagangan. Namun, tampaknya tidak mungkin untuk membatalkan tarif-tarif pendahulunya atas baja, aluminium, dan barang-barang lainnya yang diimpor dari China dan Eropa dalam waktu dekat.

"Saya telah diberi tahu bahwa jika anda menutup mata, anda mungkin tidak dapat membedakan," antara agenda perdagangan Biden dan Trump, kata Nasim Fussell, mantan penasihat perdagangan Partai Republik di Komite Keuangan Senat AS, Sabtu (7/11).

Baca Juga

“Biden tidak akan cepat membongkar beberapa tarif ini.”

Biden, yang merebut kursi kepresidenan pada Sabtu (7/11) setelah berhari-hari penghitungan suara, terpilih dengan dukungan kuat dari serikat pekerja dan kaum progresif yang skeptis terhadap kesepakatan perdagangan bebas di masa lalu, sehingga ia akan menghadapi tekanan untuk mempertahankan perlindungan bagi industri yang rentan, seperti baja dan aluminium.

Prioritas ekonomi utamanya adalah menghidupkan kembali ekonomi yang terhantam pandemi virus Corona, sehingga perjanjian perdagangan kemungkinan akan mengambil kursi belakang untuk upaya stimulus dan pembangunan infrastruktur.

Penasihat Biden mengatakan dia akan berusaha untuk mengakhiri "perang perdagangan buatan" dengan Eropa dan akan segera berkonsultasi dengan sekutu AS sebelum memutuskan masa depan tarif AS atas barang-barang China, dalam upaya untuk "pengaruh kolektif" terhadap Beijing.

Mantan pejabat perdagangan pemerintahan Trump dan Obama mengatakan bahwa untuk menurunkan tarif barang-barang China, Biden kemungkinan akan menuntut konsesi dasar yang sama dari China seperti yang dilakukan Trump: membatasi subsidi besar-besaran kepada perusahaan yang dikendalikan negara, mengakhiri kebijakan yang memaksa perusahaan-perusahaan AS untuk mentransfer teknologi ke mitra China, dan membuka pasar layanan digitalnya ke perusahaan teknologi AS (konstituensi donor Biden besar lainnya).

“Setiap presiden akan memiliki ini dalam agenda mereka, tetapi itu akan sangat sulit,” kata Jamieson Greer, yang menjabat hingga April sebagai kepala staf di kantor Perwakilan Dagang AS.

Pemerintahan Biden akan lebih dapat diprediksi pada perdagangan setelah perubahan mendadak Trump dan ancaman tarif, kata Wendy Cutler, mantan negosiator perdagangan USTR (Perwakilan Dagang Amerika Serikat).

“Hari-hari para penasihat yang berebut untuk menerapkan apa yang mereka pelajari melalui cuitan presiden akan berlalu,” kata Cutler, wakil presiden di Asia Society Policy Institute.

Biden tampaknya tidak akan mencoba menghidupkan kembali Kemitraan Trans-Pasifik, kesepakatan perdagangan 12 negara Lingkar Pasifik yang dinegosiasikan oleh pemerintahan Obama tetapi ditinggalkan oleh Trump pada 2017.

Sebaliknya, mereformasi Organisasi Perdagangan Dunia yang rusak parah dengan aturan baru yang melarang subsidi dan praktik non-pasar lainnya dipandang sebagai prioritas yang lebih besar.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement