REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Imam Besar Al-Azhar, Ahmed El-Tayyeb, menyatakan, penolakan atas tindakan menghina Nabi Muhammad dan bersumpah untuk menuntut pelaku di pengadilan internasional. Hal tersebut disampaikan Imam Besar Al-Azhar dalam sebuah pernyataan.
Pernyataannya datang dalam pertemuan Ahad (8/11) dengan Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Yves Le Drian, mengunjungi Mesir untuk membantu mengurangi ketegangan akibat komentar Presiden Prancis, Emmanuel Macron, tentang Islam.
Adapun Macron, membela hak untuk menggambar kartun tentang Nabi Muhammad dengan mengatakan, Prancis tidak akan meninggalkan kartun tersebut. Selain itu, beberapa kampanye diluncurkan di dunia Islam, terutama di media sosial, menyerukan boikot produk Prancis sebagai tanggapannya.
"Jika Anda mempertimbangkan untuk menghina Nabi kami, perdamaian atas dia, kebebasan berbicara, kami dengan tegas menolaknya", sebut bunyi pernyataan itu, dilansir dari laman Ahram Online pada Senin (9/11).
"Saya orang pertama yang memprotes kebebasan berbicara ketika kebebasan ini melanggar agama apa pun, tidak hanya Islam," kata Imam Besar.
"Eropa berutang budi kepada nabi kami Muhammad dan agama kami, karena cahaya yang telah diperkenalkan agama ini kepada seluruh umat manusia. Kami menolak menyebut terorisme 'Islami'," kata El-Tayyeb.
Dia menambahkan, setiap orang harus segera berhenti menggunakan istilah ini. Sebab, hal tersebut menyakiti perasaan umat Islam di seluruh dunia dan bertentangan dengan kebenaran yang diketahui oleh semua orang.
El-Tayyeb menegaskan, Muslim di seluruh dunia menolak terorisme yang bertindak di bawah kedok agama. Dia menekankan, Islam dan nabi tidak ada hubungannya dengan terorisme.
"Al-Azhar mewakili suara hampir dua miliar Muslim dan saya katakan teroris tidak mewakili kami dan kami tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka. Saya mengumumkan itu di semua forum internasional, di Paris, London, Jenewa, Amerika Serikat, Roma, negara-negara Asia, dan di mana-mana," kata dia.
"Saat kami mengatakan ini, kami tidak mengatakannya sebagai permintaan maaf. Islam di atas permintaan maaf," lanjutnya.
"Saya dan serban Al-Azhar ini membawa mawar di Bataclan Square, di Paris, dan menyatakan penolakan terhadap segala bentuk terorisme. Pelanggaran tersedia di antara pengikut semua agama dan di bawah semua sistem. Jika kami mengatakan, Kristen tidak bertanggung jawab atas insiden Selandia Baru, kami juga harus mengatakan, Islam tidak bertanggung jawab atas terorisme orang-orang yang berperang atas namanya," paparnya.
Imam Besar juga merujuk pada peran pendidikan dan ideologis Al-Azhar sepanjang waktu dalam menghadapi terorisme. Dia mengatakan, itu membuat kurikulum baru, yang menegaskan bahwa teroris adalah penjahat dan bahwa Islam tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Di samping itu, El-Tayyeb memuji pernyataan Le Drian selama krisis yang dipicu oleh pernyataan kontroversial Marcon. Dia mengatakan bahwa ucapan Le Drian mewakili suara kebijaksanaan.
Dalam sambutan pers, Le Drian menegaskan rasa hormat Prancis yang dalam terhadap Islam, termasuk perannya dalam budaya, sejarah, dan ilmu pengetahuan Prancis, serta peran Imam Besar El-Tayyeb Al-Azhar dalam menyerukan toleransi dan moderasi.
Le Drian mengungkapkan, Muslim di Prancis merupakan bagian integral dari masyarakat Prancis, dan dapat menjalankan ritual mereka di bawah perlindungan negara.
Menurut Le Drian, satu-satunya pertempuran yang harus dilakukan bersama dengan mitra di Mesir adalah melawan terorisme dan ekstremisme dan mereka yang mendistorsi agama untuk tujuan politik. Dia mengatakan, negaranya membedakan antara Islam dan ekstremis itu, menegaskan bahwa Muslim adalah korban utama terorisme.
"Dengan lembaga besar seperti Al-Azhar, kita harus melawan kombinasi kebencian dan delusi agama ekstremis," kata dia.
Sebelumnya, Prancis tengah mencari cara memperbaiki kembali hubungan dengan negara-negara Muslim yang renggang akibat pernyataan Presiden Emmanuel Macron. Prancis berencana mengirimkan duta khusus untuk menyampaikan pandangan-pandangan Macron pada dunia Muslim.
"Prancis mencari cara menunjuk duta besar khusus untuk menjelaskan pemikiran Presiden Emmanuel Macron tentang sekularisme dan kebebasan berekspresi," tulis The Guardian seperti dilansir Sputniknews pada Kamis (5/11).
Utusan khusus Prancis itu ditugaskan untuk membantu mencegah sentimen anti Prancis menyebar lebih luas di mana telah terlihat di beberapa negara mayoritas Muslim dalam beberapa pekan terakhir.