REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Manuskrip pada daun lontar menjadi bagian tak terpisahkan bagi perkembangan budaya dan peradaban literasi bangsa Indonesia. Jamak catatan sejarah awal bangsa ini terungkap dari manuskrip kuno yang dituliskan pada lembar- lembar daun lontar.
Namun, di tengah modernisasi dan era digitalisasi sekarang ini, belum banyak generasi milenial yang tahu bagaimana proses manuskrip tersebut dibuat. Bahkan tak sedikit pula mereka yang paham kenapa daun lontar digunakan.
Hal ini, menginisiasi penyelenggara Festival Lembah Gana 2020 untuk menggelar ‘Workshop Menulis Lontar’ sebagai salah satu dari sejumlah rangkaian agendanya. Mereka pun menggandeng I Gede Gita Purnama Arsa Putra dan Dewa Ayu Carma Citrawati, pasutri pegiat Hanacaraka Society (Bali), guna memberikan materi pada sesi workshop tersebut.
“Kami perlu mengembalikan ingatan –terutama para generasi muda—bahwa manuskrip daun lontar menjadi bagian penting dari peradaban literasi bangsa ini,” ungkap Arsa, di sela kegiatan workshop menulis lontar, Ahad (8/11) kemarin.
Menurutnya, salah satu media tulis yang dikenal dalam dunia literasi masyarakat Nusantara sejak ratusan tahun silam adalah lontar. Karena itu lontar memiliki fungsi sebagai media dokumentasi dari berbagai pengetahuan dan informasi peradaban Nusantara.
Karenanya, saat menorehkan sebuah informasi di atas daun lontar, seolah membawa kembali ke masa silam, ke masa para leluhur menorehkan manuskripnya. “Dengan menulis di daun lontar, maka generasi muda bisa mengingat dan mengenal sejarah kebudayaan di Nusantara ini,” tegasnya.
Ia juga mengakui, menulis di atas lontar pada era digital saat ini bukan menjadi pilihan utama, terutama ketika setiap orang memiliki ponsel pintar. Namun, bukan itu semangat yang dibawa dalam workshop penulis lontar kali ini. “Melainkan menjadi ikhtiar untuk merawat tradisi Nusantara,” tandas Arsa.
Hanacaraka Society (Bali), lanjutnya, sangat bersyukur diberikan kesempatan datang ke kegiatan seperti Festival Lembah Gana. Sehingga bias menyegarkan ingatan para generasi muda bahwa menulis dengan media daun lontar pernah menjadi tradisi menulis yang jamak dilakukan para pendahulu bangsa.
Tradisi menulis pada lontar telah diwariskan oleh leluhur kita, dan selanjutnya dibawa ke Bali sebagai satu bentuk penyelamatan. Maka ia pun juga memiliki kewajiban yang sama seperti halnya para leluhur terdahulu untuk mengembalikan dan membangkitkan kembali tradisi menulis lontar tersebut.
Dengan begitu, jejak- jejak intelektualitas para leluhur akan dikenang sepanjang masa dan generasi muda juga akan selalu ingat kebudayaan bangsanya. “Cukup relevan dengan tema festival ini, Mengenal Bumi, Merawat Ingatan,” tambahnya.
Tradisi menulis di daun lontar, lanjutnya, termasuk tradisi budaya tulis yang dikenal di Nusantara yang menjadi sebaran pohon lontar, seperti di Pulau Jawa, Bali, hingga Lombok. Naskah lontar di Bali, bisa dikatakan merupakan tradisi yang ada di Jawa.
Bahkan Bali –disebut- sebut—menjadi rumah terakhir diselamatkannya tradisi Jawa Kuna, khususnya di bidang naskah lontar. “Sampai saat ini di Bali, lontar masih digunakan untuk sarana upacara sehari- hari yang melibatkan masyarakat tradisional di sana,” tandasnya.
Sementara itu, Ketua Komunitas Budaya Karangjati Nyawiji, Muhtar Widianto menambahkan, misi utama kegiatan Festival Lembah Gana adalah kiat untuk mengenalkan budaya leluhur kepada generasi mendatang. Selain workshop menulis lontar juga ada pameran beberapa macam jenis wayang.
Secara umum, kegiatan Festival Lembah Gana kali ini mengusung kisi mengembalikan tradisi nenek moyang yang dikemas dengan model atau metode kekinian. “Sehingga generasi muda akan lebih mudah dalam memahami tradisi yang pernah hidup dan menjadi kekayaan budaya bangsa tersebut,” jelasnya.
Widianto menambahkan, kawasan Lembah Gana memiliki peninggalan berupa Situs Ganesha tanpa mahkota dan Situs Watu Kelir. Tempat tersebut kemudian dijadikan Taman Arkeologi dan Edukasi Budaya dengan harapan pengunjung dan generasi muda bisa memahami, cinta, dan bangga budaya Nusantara yang ada di Karangjati.
“Apa yang ada bisa dilihat dan dirawat supaya menjadi kebanggaan di Krajan, Karangjati, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang,” tegasnya.