REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pidato Presiden Prancis Emmanuel Marcon yang disampaikannya pada awal Oktober lalu menjadi kontroversi karena dianggap menghina Islam. Namun, Kedutaan Besar (Kedubes) Prancis di Indonesia menegaskan, dalam pidatonya Macron bukan memusuhi Islam, tapi untuk melawan radikalisme.
“Saya rasa sudah sangat jelas Presiden Macron ingin melawan radikalisme, tetapi tidak memusuhi Islam, sama sekali tidak,” ujar Atase Pers Kedubes Prancis Dominique Roubert dalam diskusi virtual “Mari Duduk Bersama Kedutaan Prancis”, Senin (9/11).
Menurut Roubert, persoalan yang dimunculkan di media sebenarnya banyak yang memelintir pidato Presiden Macron dan menjadi bola salju, sehingga masyarakat pun tidak bisa melihat duduk persoalannya. Menurut dia, yang jelas Prancis tidak membenarkan segala bentuk kekerasan.
“Saya rasa kita semua setuju tindakan kekerasan apa pun tidak bisa dibenarkan, apakah itu atas nama ideologi, agama atau apa pun,” ucapnya.
Maksud dari pidato yang sampaikan Presiden Macron dalam beberapa kesempatan, menurut dia, sebenarnya sudah sangat jelas, yaitu menyerukan untuk melawan radikalisme. “Tentu dalam hal ini yang menyebabkan sedikit kontroversi adalah presiden akan melawan Islam radikal yang mengatasnamakan agama Islam. Tapi saya rasa kita harus melihat konteksnya,” katanya.
Menurutnya, sebelum Macron menyampaikan pidatonya, di Prancis saat itu baru terjadi tindakan pembunuhan keji sehingga dalam pidatonya Macron pun fokus terhadap radikalisme Islam. Namun, dia menyayangkan justru pernyataan tersebut dipelintir seakan-akan Presiden Macron melawan Islam.
“Tapi sangat disayangkan baik secara tidak sengaja maupun sengaja pernyataan Presiden Macron dipelintir menjadi melawan Islam,” kata Roubert.