REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ancaman serangan teroris di Eropa bersifat jangka panjang. Islamisme radikal belum hilang dalam beberapa tahun terakhir.
Tetapi sebagian besar serangan belum diketahui publik secara luas karena jumlah korban yang sedikit.
Bukan serangan ekstensif yang terjadi, tapi tindakan teroris individu yang sulit diprediksi. Informasi ini disampaikan sejumlah sumber di beberapa badan intelijen negara Eropa.
Pembunuhan guru di Paris, pembantaian di gereja di Nice, dan serangan teroris di pusat kota Wina hanyalah beberapa contoh serangan dalam beberapa pekan terakhir. Selain mereka, ada beberapa insiden lain yang sudah dilupakan, seperti serangan parang di Dresden atau kekerasan dan pembunuhan di pinggiran kota Prancis.
Dengan meningkatnya jumlah serangan teroris, sering muncul pertanyaan. Apakah gelombang baru kekerasan yang dimotivasi Islam radikal datang ke Eropa?
Badan intelijen setuju bahwa, pada prinsipnya, tidak demikian halnya. Karena terorisme Islam tidak pernah benar-benar menghilang dari Eropa. Menurut mereka, persepsi bahwa serangan yang terjadi lebih sedikit dalam dua hingga tiga tahun terakhir ini semata-mata karena masyarakat tidak mengetahui jumlah sebenarnya dan ancaman yang terus berlanjut.
Meskipun ada serangan berskala kecil dan terorganisir, seperti pada 2015 dan 2016, telah digantikan beberapa serangan teroris yang lebih kecil. Tapi karena jumlah korban yang sedikit, seringkali tidak diketahui publik secara luas. Selain itu, aparat keamanan juga berhasil mencegah berbagai serangan.
Badan intelijen menunjukkan bahwa suasana hati di kalangan Muslim radikal baru-baru ini mencapai titik didih. Organisasi teroris semakin meminta pendukung mereka untuk mengatur serangan dan mati sebagai martir. Dorongan untuk menyerang juga terjadi di masjid dan platform online.
Menurut para ahli, propaganda Islam radikal masih menyebar dengan cepat, terlepas dari kekalahan ISIS di Timur Tengah. Lebih jauh, berbagai petunjuk cara membuat bahan peledak beredar bebas di internet, beserta teks motivasi agar para jihadis tidak takut menggunakan senjata untuk melawan orang kafir.
Menurut kontraintelijen Jerman, kemungkinan serangan teroris di Eropa tinggi dalam jangka panjang. Di Jerman saja, pihak berwenang memperkirakan ada 30 ribu pengikut Islam radikal. Selain itu, sekitar 300 jihadis kembali ke negara itu dari Suriah dan Irak setelah kekalahan ISIS.
Salah satu masalah saat ini adalah bahwa otoritas Eropa sering mendaftarkan lebih banyak teroris potensial daripada yang dapat dilacak dinas intelijen mereka. Masalah lainnya adalah bahwa serangan menjadi semakin tidak dapat diprediksi dalam beberapa tahun terakhir.
Padahal hingga beberapa tahun yang lalu, teroris terhubung dengan organisasi teroris di Suriah, Irak atau Afghanistan. Sekarang mereka lebih cenderung menjadi individu independen yang meradikalisasi secara diam-diam, di masjid atau melalui internet. Juga banyak yang tidak termasuk dalam daftar orang berbahaya. Karena untuk melakukan serangan, yang harus mereka lakukan hanyalah pergi ke toko terdekat dan membeli pisau dapur.
Tetapi serangan di Wina juga menunjukkan kegagalan di pihak pemerintah Austria. Penyerang, seorang warga Albania berusia 20 tahun dari Makedonia Utara dengan kewarganegaraan Austria, telah dijatuhi hukuman penjara tahun lalu ketika mencoba menyeberang ke Suriah dan berjuang untuk ISIS.
Dia dibebaskan sebelum waktunya sebagai remaja, menjalani program deradikalisasi, dan harus tetap di bawah pengawasan ketat. Tapi dia membunuh empat orang di pusat Wina dan melukai 23 lainnya, setidaknya tujuh di antaranya terluka parah. Tidak jelas bagaimana dia mendapatkan dua senjata api dan difoto kemudian diunggah di jejaring sosial sebelum serangan itu.
Terkait senjata api itu, jejaknya mengarah ke Slovakia, yang mengklaim telah memperingatkan pihak berwenang Austria tentang perjalanan yang mencurigakan musim panas lalu. Dilansir dari lama Rmx News, Senin (9/11).
Badan intelijen juga memperkirakan bahwa Islamis radikal baru-baru ini didorong untuk meningkatkan aktivitas mereka gara-gara kartun satir Charlie Hebdo. Hal ini diperburuk jaminan dari Presiden Prancis Emmanuel Macron bahwa Prancis tidak akan membatasi seni, satir, dan kebebasan berbicara.
Bagaimanapun, Macron bersama dengan Kanselir Austria Sebastian Kurz, yang sekarang menyerukan kepada negara-negara Eropa lainnya untuk mengambil tindakan tegas terhadap terorisme Islam.