REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kandidat vaksin Covid-19 yang dikembangkan Pfizer dan BioNTech diklaim perusahaan memiliki efikasi 90 persen dalam uji klinis Fase Tiga. Vaksin ini akan ditawarkan dalam dua dosis suntikan.
Seorang anggota kelompok penasehat medis dari Komite Ahli untuk Tanggap Darurat Epidemi buatan gubernur Colorado, Amerika Serikat, Dr. Anuj Mehta, menjelaskan bahwa dua dosis vaksin akan diberikan dengan jarak waktu 21 hari. Jangka waktu antara dua suntikan itu ditetapkan berdasarkan data yang dikumpulkan di laboratorium sebelum vaksin itu diujicobakan pada manusia.
Setiap dosis akan terdiri dari formulasi yang sama. Artinya, tidak ada perbedaan antara kedua suntikan. Mengapa dua dosis suntikan, tak seperti kandidat vaksin Covid-19 lainnya?
Alasan harus ada dua dosis ialah karena tubuh merespons masing-masing secara berbeda. Dosis pertama akan bertindak sebagai lapisan awal untuk sistem kekebalan tubuh dan dosis kedua yang diberikan tiga pekan kemudian akan memperkuatnya.
"Setelah dosis kedua, tubuh akan dapat mengenali protein yang dibuat oleh virus penyabab Covid-19 dengan lebih baik. Namun, untuk kekebalan tubuh masih dilihat. Seperti berapa lama kekebalan itu bertahan?" kata Mehta yang tidak terlibat dalam penelitian vaksin Covid-19, dilansir Fox News, Selasa (10/11).
Menurut Mehta, kekebalan tubuh mereda dalam waktu sepekan setelah dosis kedua. Semua data mendukung fakta bahwa dosis tunggal tidak akan memberikan kekebalan yang sangat kuat, yang dibutuhkan untuk memerangi pandemi Covid-19.
Mehta mengatakan, terlalu dini untuk mengetahui apakah vaksin tersebut akan menjadi imunisasi tahunan, mirip dengan vaksinasi flu atau apakah akan efektif selama beberapa tahun.
"Kami tidak tahu apakah ini akan menjadi sesuatu dimana orang membutuhkan imunisasi berulang pada interval waktu yang berbeda atau itu akan cukup untuk jangka waktu yang sangat lama. Tindak lanjut jangka panjang yang disertakan dengan uji coba akan memberi tahu kita semua," kata dia.