REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Perdana Menteri Armenia mengatakan bahwa menandatangani kesepakatan untuk mengakhiri konflik di wilayah Upper Karabakh adalah keputusan yang sangat sulit. Lewat media sosial, Nikol Pashinyan mengatakan keputusan itu diambil setelah melakukan analisis mendalam terhadap situasi militer.
Seusai penandatanganan kesepakatan, gelombang protes pun meletus di Armenia. Pashinyan dianggap mengaku kalah dengan menandatangani kesepakatan dengan Azerbaijan dan Rusia untuk menghentikan pertempuran di Upper Karabakh.
Para pengunjuk rasa berkumpul di depan gedung pemerintahan di Yerevan dan memecahkan jendela serta meneriakkan slogan-slogan menentang Pashinyan. Sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan bahwa Azerbaijan dan Armenia telah menandatangani perjanjian tersebut.
Hubungan kedua negara bekas Uni Soviet tegang sejak 1991 karena memperebutkan wilayah Upper Karabakh atau Nagorno-Karabakh. Pada 27 September, bentrokan pun terjadi setelah pasukan Armenia menyerang warga sipil dan tentara Azerbaijan di wilayah itu.
Pasukan Armenia juga melanggar tiga gencatan senjata kemanusiaan. Sekitar 20 persen wilayah Azerbaijan berada di bawah pendudukan ilegal Armenia selama hampir tiga dekade.