Selasa 10 Nov 2020 16:16 WIB

Belum Ada Kejelasan Mengenai Keamanan Vaksin Pfizer

Vaksin Pfizer membutuhkan dua dosis dengan jarak sekitar satu bulan.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Gita Amanda
Pfizer merupakan satu dari banyak perusahaan farmasi yang berlomba-lomba menyediakan vaksin Covid-19 di pasar. (ilustrasi)
Foto: EPA
Pfizer merupakan satu dari banyak perusahaan farmasi yang berlomba-lomba menyediakan vaksin Covid-19 di pasar. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vaksin Covid-19 Pfizer adalah jenis teknologi baru yang belum pernah digunakan dalam vaksinasi massal pada manusia sebelumnya dan para ahli mengingatkan bahwa masih banyak yang belum diketahui tentang keamanannya. Seperti berapa lama bisa berhasil dan siapa yang paling diuntungkan dalam vaksin ini.

Uji klinis fase tiga vaksin Covid-19 Pfizer dimulai pada akhir Juli dan telah mendaftarkan lebih dari 43 ribu peserta studi. Beberapa menerima vaksin yang sebenarnya, sementara yang lain menerima plasebo. Uji coba vaksin bergantung pada sejumlah infeksi yang akan terjadi. Jika lebih banyak infeksi dilaporkan di antara peserta penelitian yang menerima plasebo daripada vaksin yang sebenarnya, itu merupakan sinyal kemanjuran yang baik.

Baca Juga

Pada Senin (9/11), raksasa farmasi AS Pfizer dan mitranya di Jerman, BioNTech mengatakan analisis awal menunjukkan vaksin Covid-19 lebih dari 90 persen efektif dalam mencegah penyakit bergejala. Penemuan itu melebihi harapan dan disambut dengan optimisme yang antusias bersama dengan banyak peringatan. Hal itu disebabkan karena produsen obat tersebut belum merilis detail lengkap tentang analisis awal.

Direktur Kelompok Penelitian Vaksin Klinik Mayo di Dr. Gregory Poland, direktur Kelompok Penelitian Vaksin Klinik Mayo di Rochester, New York, Amerika Serikat mengatakan sekitar sepertiga dari peserta studinya memiliki latar belakang ras dan etnis yang beragam tetapi tidak mengungkapkan apakah ada perlindungan yang lebih kuat untuk kelompok usia tertentu.

"Kami tidak tahu apa-apa tentang kelompok yang tidak mereka pelajari, seperti anak-anak, wanita hamil, orang yang sangat lemah kekebalannya dan yang tertua dari orang tua," katanya dikutip dari nbcnews.com, Selasa (10/11).

Vaksin Pfizer menggunakan teknologi baru yang disebut messenger-RNA atau mRNA. Ini belum pernah disetujui untuk vaksinasi manusia sebelumnya. Alih-alih menggunakan potongan virus untuk memicu respons kekebalan, mRNA melatih sistem kekebalan untuk menargetkan protein lonjakan yang ditemukan di permukaan virus corona.

Sementara itu, Presiden Robert Wood Johnson Foundation dan Mantan Direktur Pejabat Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Dr. Richard Besser mengatakan lonjakan inilah yang memungkinkan virus menyerang sel manusia. Secara teori, memblokir lonjakan berarti orang tidak akan terinfeksi virus. Hal yang menarik adalah jenis vaksin ini dapat diproduksi dengan sangat cepat.

"Penting juga untuk mendapatkan gambaran yang lebih tajam tentang klaim Pfizer tentang efektivitas sekitar 90 persen.  Analisis pertama ini hanya mencakup data pada 94 kasus Covid-19 yang dikonfirmasi, yang berarti belum ada bukti bahwa vaksin tersebut mencegah infeksi," kata dia.

Ia menambahkan mereka yang mendapat vaksin sebenarnya, bukan plasebo, sangat mungkin memiliki sedikit atau tanpa gejala. Artinya, vaksin tersebut tampaknya telah mencegah komplikasi utama Covid-19. Tidak jelas apakah orang yang menerima vaksin cenderung tidak tertular.

Namun, pertanyaan yang belum terjawab seharusnya tidak menghentikan kegembiraan awal tentang temuan tersebut, yang tampaknya menunjukkan bahwa vaksin tersebut mungkin memiliki kemampuan untuk mengubah penyakit serius menjadi sesuatu yang menyerupai flu biasa.

Seorang Ahli Penyakit Menular dan Presiden Acces Health International, Dr. William Haseltine, mengatakan jika vaksin tersebut memang terbukti aman dan efektif, vaksin itu akan bekerja lebih seperti suntikan flu.

"Ini belum tentu akan melindungi Anda dari infeksi dan mungkin tidak berhasil untuk semua orang. Tapi itu harus bermanfaat bagi banyak orang. Dan itu harus mengurangi keparahan penyakit," kata dia.

Kepala Eksekutif Vaksin Pfizer, Albert Bourla, mengatakan pembuat obat itu akan mengikuti peserta selama dua tahun untuk menganalisis keamanan dan perlindungan yang berkelanjutan. "Seiring berjalannya waktu, kami akan mencari tahu tentang daya tahan proteksi tersebut. Kami akan melihat berapa lama imunogenisitas berlangsung dan berapa lama kekebalan sel bertahan," kata dia.

Ia menambahkan tidak akan mengajukan izin penggunaan darurat dari calon vaksinnya sampai ia mengumpulkan informasi keselamatan selama dua bulan setelah dosis akhir vaksin. Vaksin Pfizer membutuhkan dua dosis dengan jarak sekitar satu bulan.

"Itu kemungkinan akan terjadi minggu depan, ketika diharapkan memiliki data keamanan itu.  Sejauh ini tidak ada masalah keamanan yang serius," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement