REPUBLIKA.CO.ID, LIMA -- Peru menghadapi krisis politik akibat proses pemakzulan Presiden Martin Vizcarra. Ribuan orang telah melakukan demonstrasi di ibu kota untuk menentang proses tersebut pada Senin (9/11) malam lalu.
Pada Senin lalu, Kongres Peru telah melakukan pemungutan suara untuk memakzulkan Vizcarra. Sekitar 105 anggota Kongres yang didominasi oposisi memilih mencopot Vizcarra. Terdapat pula 19 suara menentang dan empat abstain. Legislator perlu mengamankan 87 suara dari 130 untuk memakzulkan presiden. "Resolusi yang menyatakan kekosongan presiden republik telah disetujui," kata pemimpin Kongres Peru Manuel Marino, dikutip laman Aljazirah.
Vizcarra telah dituduh menerima suap sebesar 630 ribu dolar AS sebagai imbalan untuk dua proyek konstruksi. Hal itu terjadi saat dia masih menjabat sebagai gubernur di sebuah provinsi kecil di selatan Peru pada 2011-2014. Sebagai presiden, Vizcarra seharusnya menjabat hingga Juli 2021.
Dia telah menyangkal menerima suap atau melakukan korupsi. Kendati demikian, Vizcarra mengatakan siap menghadapi tuntutan pidana apa pun terkait tudingan yang dilayangkan kepadanya. Dia pun tidak akan mengajukan gugatan hukum apa pun. "Hari ini saya meninggalkan istana pemerintah. Hari ini saya akan pulang," katanya tak lama setelah mayoritas Kongres mendukung pemakzulan.
Vizcarra telah memperingatkan anggota parlemen, terutama dari kalangan oposisi, bahwa keputusan tergesa-gesa untuk menggulingkannya dapat membawa konsekuensi serius bagi Peru. Menurut rantai suksesi, ketua legislatif akan menggantikannya. Anggota parlemen menjadwalkan upacara untuk melantik pemimpin baru Selasa pagi. Para pengamat menyebut tindakan para legislator sebagai perebutan kekuasaan yang terbuka dan berisiko.
Secara umum, Vizcarra memang lebih populer dibandingkan Kongres Peru. Dia dipuji karena kampanye anti-korupsi yang digaungkannya. "Mengejar seorang presiden dan mengguncang demokrasi negara di tengah krisis semacam ini tanpa alasan yang serius adalah tindakan sembrono," kata ilmuwan politik dari Universitas Harvard Steve Levitsky.
Pendapat serupa diutarakan rekan senior Washington Office on Latin America Jo-Marie Burt. Dia menilai proses pemakzulan itu sangat mengganggu stabilitas Peru. "Ini menimbulkan ketidakpastian dalam jumlah besar pada saat ekonomi sedang berputar-putar karena Covid-19 dan orang-orang sekarat," katanya.
Peru adalah salah satu negara yang paling parah terdampak pandemi virus corona di kawasan Amerika Latin. Berdasarkan data yang dihimpun Worldmeters, negara tersebut telah melaporkan lebih dari 925 ribu kasus Covid-19. Wabah telah menyebabkan 34.992 warga di negara tersebut meninggal.