REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad, menuturkan, produk unggas di Indonesia masih belum kompetitif. Itu disebabkan oleh tingginya struktur biaya produksi yang dikeluarkan peternak maupun industri.
Tauhid mengatakan, pada tahun 2019, berdasarkan olah data berbagai sumber, Indonesia menjadi salah satu negara yang harga karkasnya paling tinggi. Biaya pakan cukup tinggi dan memiliki ketergantungan kepada gandum sebagai bahan baku substitusi jagung yang harus diimpor.
Biaya pakan sendiri berkontribusi sekitar 62 persen pada total biaya produksi ternak unggas. "Performa produksi juga tidak optimal, lalu ada ancaman masuknya produk impor dari Amerika dan Brazil yang jauh lebih efisien," kata Tauhid dalam diskusi virtual Indef, Rabu (11/11).
Sementara itu, Indonesia belum memiliki formulasi data keseimbangan penawaran dan permintaan ayam. Hal itu terlihat dari kecenderungan produksi yang terus melebihi kebutuhan. Hal itu menyebabkan daya saing industri unggas masih kurang kuat, meskipun industri perunggasan cukup berperan dalam penyediaan lapangan pekerjaan.
Karena itu, Indef merekomendasikan agar ada formulasi kebutuhan penawaran dan permintaan untuk setiap rantai nilai produk-produk perunggasan. "Data harus clear dan clean," ujarnya.
Indef juga mendorong upaya modernisasi industri perunggasan nasional dengan penataan ke arah modern supply chain. Lebih jauh, diperlukan peta jalan industri perunggasan yang komprehensif. Jika itu bisa dilakukan dengan tepat, daya saing industri perunggasan nasional dapat lebih kuat dan tentunya membutuhkan kerja sama antar kementerian lembaga.