REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, mengungkapkan salah satu kendala bagi TNI dalam upaya menangani terorisme ialah masih lemahnya kontrol demokratik dari otoritas sipil. Selain itu, masih banyak masyarakat yang berharap TNI ikut terlibat dalam penanganan terorisme tanpa memahami dasar peraturan perundang-udangannya.
"Kontrol demokratik dari otoritas sipil masih lemah untuk menegakkan tatanan dan kemampuan berdasarlan kaidah demokrasi," ungkap Agus dalam pemaparannya pada diskusi "Pelibatan TNI dalam Penanganan Kontra Terorisme" yang digelar Universitas Andalas bersama dengan Marapi Consulting and Advisory secara daring, Rabu (11/11).
Dia juga menyampaikan, masih banyak kalangan masyarakat yang terbelenggu dalam tatanan dwifungsi ABRI masa lalu. Mereka, kata Agus, berharap akan pelibatan TNI dalam mengatasi tindak terorisme tanpa memahami dasar-dasar peraturan perundang-undangan.
"Kemudian, setelah reformasi masih terdapat kalangan TNI yang berasumsi, Indonesia dentan doktrin TNI bersifat unik dan mempunyai peran tetap sebagai penjaga bangsa, serta menganggap tatanan dwifungsi TNI masa lalu tetap berlaku," kata dia.
Selain kendala, Agus juga menerangkan soal peluang bagi TNI dalam ikut serta melakukan pemberantasan tindak terorisme. Menurut Agus, saat ini belum ada batasan yang tegas dan eksplisit tentang peran TNI dan Polri dalam kontraterorisme.
"Jadi harus, perlu, untuk kita tegaskan. Itu (batasan yang tegas dan eksplisit peran TNI-Polri) belum ada," kata Agus.
Kemudian, pengertian terorisme yang memiliki aspek nasional dan internasional memberi beberapa pemahaman. Pertama, ancaman terorisme tidak dapat dipisahkan secara mutlak sebagai ancaman dari dalam ataupun luar negeri. Kedua, penindakan terhadap tindak terorisme dilakukan terhadap lokasi munculnya ancaman.
"Walaupun itu ada bantuan dari luar, tapi kalau itu muncul di dalam hotel JW Mariott di Jakarta maka lokasi itu di dalam dan itu pada hakekatnya merupakan pelanggaran hukum," jelas dia.
Pemahaman berikutnya, yakni respons terhadap ancaman terorisme tidak tunggal, melainkan dilaksanakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Dia menerangkan, pada hakikatnya, apabila ancaman muncul di dalam negeri, maka penindakannya dalam bentuk penegakkan hukum.
Lalu pengerahan kekuatan militer dapat dilakulan untuk ancaman terhadap warga negara dan milik negara yang terjadi di luar yurisdiksi wilayah hukum nasional. "Masih ada peluang dan ruang TNI untuk terlibat dan memberikan sumbangannya pada kontraterorisme, tetapi untuk keadaan di luar wilayah yurisdiksi hukum nasional," kata dia.