Kamis 12 Nov 2020 05:47 WIB

Ketua MUI Kupas Budaya Barakah

Budaya “wani wiro’ menjauhkan dari budaya barakah.

Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam  Majelis Ulama Indonesia (KPSBI MUI)  silatnas pada Rabu (11/11).
Foto: Dok MUI
Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam Majelis Ulama Indonesia (KPSBI MUI) silatnas pada Rabu (11/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –  Ketua MUI Bidang Pembinaan Seni Budaya Islam  Dr  KH  Sodikun  MSi mengupas strategi memajukan budaya barakah. Hal itu ia sampaikan dalam tausiyah budaya berjudul “Strategi Pemajuan Budaya Barakah (BB” dalam rangka Silatnas Komosi Pembinaan Seni Budaya Islam (KPSBI)-MUI se-Indonesia yang digelar secara virtual, Rabu (11/11).

Menurut Kiai Sodikun, budaya barakah itu starting point-nya adalah bimbingan kebijakan Ilahi yang berupa tuntunan dari Allah. “Mengubah perilaku itu sulit, namun bisa dilakukan dengan strategi,” ujarnya. 

Ia menambahkan, kesadaran yang dibangun dari nilai, kemudian menjadi kebiasaan dan seterusnya akan menjadi sebuah budaya. Lalu menjadi sebuah sistem sosial dan dijalankan oleh masyarakat. “Maka bicara strategi berarti membicarakan tema himayatul ummah (melindungi umat) dan sinergi baik dengan pemerintah (shadiqul hukumah),” kata Kiai Sodikun seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Inilah, kata dia, dua term besar yang di-framing dengan kebijakan Ilahiyah dan menjadi sistem sosial. Realitas sosial perlu dibina dengan perubahan yang optimal menjadi lebih baik, ada penguatan, jati diri (identitas), kemandirian, kepedulian, keadaban dan keistiqomahan. “Jika siklus ini dilakukan dengan strategi yang baik, maka akan menghasilkan budaya barakah,” tutyurnya.

Ia juga menegaskan, budaya wani piro itu bertentangan dengan kebijakan Ilahiyah. “Ini menjauhkan dari budaya yang barakah,” ujar Kiai Sodikun.

Pada kesempatan yang sama, anggota KPSBI MU Ustadz Erick Yusuf  mengawali presentasinya dengan pertanyaan apakah yang pas itu istilah seni budaya Islam atau Islami. Karena, saat melakukan pembinaan seni budaya Islam, selama ini dikesankan hanya dengan menjaga artefak-artefak saja atau karya-karya seni. “Padahal sebenarnya makna pembinaan ini terjadi dalam keseharian hidup kita yang menjadi budaya sehari-hari kita agar sesuai dengan tuntunan Islam,” kata Ustadz Erick.

Ia menyebutkan, salah satu contoh adalah budaya cium tangan yang menjadi kearifan lokal Nusantara dan bisa dijaga. “Ada berapa banyak  kearifan lokal yang  bisa dibina menjadi sarana pembinaan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama Islam?  Maka, kita juga perlu blue print pembinaan seni budaya Islam di Nusantara ini sehingga pembinaan tersebut bisa optimal,” ujarnya.

Ketua Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam (KPSBI) MUI Pusat Habiburrahman El Shirazy, dalam kesempatan tersebut berbagi pengalaman tentang kerja kesenian dan dakwah  yang dilakukannya melalui film. Hal itu ia uraikan melalui makalahnya yan berjudul “Berdakwah dengan Media Film adalah Bagian dari Berdakwah Melalui  Wasilah Seni Budaya”.

Kang Abik, panggilan akrabnya, mengutip KH A Sahal Mahfudh yang menegaskan bahwa dalam Islam, dalam pengertian yang luas mempunyai kaitan simbiosis dengan seni budaya. Sebagai media atau metoda, seni budaya itu mempunyai proyeksi yang mengarah kepada pencapaian kesadaran kualitas keberagamaan Islam, yang pada gilirannya mampu membentuk sikap dan prikaku Islami yang notabene tidak menimbulkan gejolak sosial, tetapi justru semakin memantapkan perkembangan sosial.”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement