REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Mimi Kartika, Antara
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Abhan meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mempertimbangkan kembali rencana penggunaan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) hasil pemungutan suara Pilkada Serentak 2020. Alasannya, ada beberapa kendala yang ditemukan Bawaslu di lapangan.
"Ada beberapa catatan kami yang perlu dipertimbangkan KPU terkait dengan hasil monitoring simulasi Sirekap di beberapa tempat," kata Abhan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI, Kamis (12/11).
Pertama menurut dia, masih terjadi kendala jaringan di beberapa tempat sehingga harus dipastikan terkait pemetaan kekuatan jaringan di tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) tanpa harus berpindah lokasi ketika hendak mengunggah dokumen dalam sistem Sirekap. Menurut dia, kalau berpindah tempat, akan muncul potensi adanya manipulasi apalagi dalam PKPU tentang Rekapitulasi Suara Pilkada diatur waktunya maksimal 24 jam.
Dia mengatakan proses unggah dokumen ketika jaringan buruk di TPS yang mengharuskan KPPS berpindah tempat yang ada jaringan internet. Akibatnya berpotensi terjadi manipulasi data karena dapat dapat diubah ketika proses tersebut.
"Berikutnya, dari hasil pengawasan kami, masih ada daerah yang terkendala internet misalnya di Bali ada 91 kelurahan, ada kendala internet di 408 titik lokasi TPS," ujarnya. Selain itu menurut dia, ada juga daerah yang terkendala listrik misalnya di 771 kelurahan di Kalimantan Barat dan ada 1.937 titik TPS.
Dia menjelaskan, terkait keaslian dan keamanan terhadap dokumen digital juga harus lebih diperkuat. Karena dalam pelaksanaannya siapa saja yang memiliki akses terhadap Sirekap dapat mengubah dokumen tanpa ada perbedaan hasil asli dengan yang telah diubah.
"Pengawas TPS dan saksi juga harus diberikan akses untuk menyaksikan secara dekat saat validasi hasil scan form hasil KWK. Lalu perlu penekanan dalam setiap bimbingan teknis karena pada saat simulasi di TPS, masih belum familiar dengan penggunaan Sirekap," katanya.
Abhan merekomendasikan sistem Sirekap hanya dijadikan sebagai fungsi publikasi namun bukan sebagai mekanisme penetapan hasil Pilkada.
Dalam RDP tersebut, anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar menjelaskan, lembaganya telah memetakan di berbagai TPS di seluruh Indonesia khususnya terkait kondisi dan kesiapan jaringan internet serta listrik. Menurut dia, dari hasil pengawasan tersebut, ada 33.412 TPS yang tidak memiliki jaringan internet dan 4.423 TPS tidak memiliki listrik.
"Ada beberapa daerah yang secara jumlah sangat signifikan misalnya di Kalimantan Timur ada 7.876 TPS tidak memiliki akses internet dan di Jawa Timur masih ada 3.313 TPS yang tidak memiliki akses internet," ujarnya.
Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera juga mengusulkan Sirekap tidak digunakan dulu dalam Pilkada 2020. Anggota DPR Fraksi Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan, penerapan Sirekap terkendala sumber daya manusia (SDM) yang mengoperasikannya nanti. Ia menilai, sosialisasi mengenai Sirekap ini belum efektif dalam menjelaskan sistem tersebut.
“Gaptek ini menghinggapi semua. Jadi SDM hambatan besar, kita harus siap, tapi saya agak khawatir SDM-SDM ini,” ujar Mardani.
Permasalahan lainnya ada pada infrastruktur jaringan di banyak daerah yang belum memadai. Belum lagi, para saksi dari partai dan pasangan calon Pilkada 2020 tak akan mendapatkan bukti fisik hasil penghitungan suara.
Sebab, dalam proses kerja Sirekap, plano yang ada di tempat pemungutan suara akan difoto dengan menggunakan perangkat Android. Selanjutnya, dari TPS dikirim ke PPK dan KPU.
“Audit teknologi ini kan tidak bisa cuma teman-teman KPU yang lakukan atau kami Komisi II yang cek. Harus ada pakar independen yang well trusted untuk mengaudit teknologi kita,” ujar Mardani.
Untuk itu, ia mengusulkan agar Sirekap tak dulu digunakan dalam Pilkada 2020. Jikalau ada, itu merupakan simulasi atau bersifat opsional di sejumlah daerah yang ada di Indonesia.
“Kita siapkan itu untuk yang akan datang, tapi untuk sekarang jadikan ini opsional di beberapa tempat, jadi simulasi. Kalau mau diterapkan ini seperti pengganti Situng yang untuk publikasi ke publik aja,” ujar Mardani.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan Mustofa, namun mendorong penerapan Sirekap. Menurut dia, penggunaan Sirekap dapat mengoptimalkan penyelenggaraan Pilkada yang lebih efisien dari segi pembiayaan. Kemudian, Sirekap diharapkan bisa memberikan hasil lebih cepat, dibandingkan rekapitulasi hasil penghitungan suara secara manual.
Selain itu, lanjut Saan, penggunaan Sirekap saat pilkada digelar dalam kondisi pandemi Covid-19, dapat meminimalisasi kontak fisik antarpetugas. Penggunaan kertas yang kemudian dipegang banyak jajaran penyelenggara dari berbagai tingkatan berpotensi penularan virus corona.
"Komisi II mendorong itu untuk digunakan di tengah pandemi. Jangan sampai ada banyak sekali rantai tempat singgah, kertas suara, hal-hal seperti ini sudah kita minta," kata Saan.
Penghapusan istilah Situng dilakukan dalam rancangan perubahan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2018 tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara pilkada. Evi mengatakan, Sirekap tak jauh berbeda dengan Situng seperti yang diterapkan pada Pemilu 2019 lalu.
Penghapusan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) dilakukan dalam rancangan perubahan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9 Tahun 2018 tentang rekapitulasi hasil penghitungan suara pilkada. Situng dihapuskan karena KPU menggunakan Sirekap.
Sirekap tak jauh berbeda dengan Situng seperti yang diterapkan pada Pemilu 2019 lalu. Sirekap menjadi bagian dari instrumen pelaksanaan proses rekapitulasi suara mulai dari tingkat kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). Biasanya tahapan rekapitulasi menggunakan cukup banyak salinan kertas, dengan Sirekap berpindah menjadi digital.
Masyarakat dapat mengakses rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilkada 2020 melalui laman resmi infopemilu.kpu.go.id. Data atas rekapitulasi suara dalam Sirekap kemudian langsung dipublikasikan di laman tersebut untuk diakses masyarakat.
KPU tidak melakukan input apapun dalam publikasi rekapitulasi. Data yang ditampilkan berdasarkan data konversi dari unggahan C.Hasil-KWK yang berisi sertifikat hasil dan rincian pemungutan dan penghitungan perolehan suara di tempat pemungutan suara oleh petugas KPPS.
Formulir model C-Hasil-KWK itu sebelumnya diisi secara manual oleh petugas KPPS, lalu dipotret dan diunggah ke aplikasi Sirekap. Kemudian, proses rekapitulasi suara berjalan ke tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), KPU kabupaten/kota, hingga KPU provinsi, sampai ditetapkan dan disetujui oleh penyelenggara pilkada, pengawas, serta saksi dari masing-masing pasangan calon.
Satu lagi aspek yang menjadi sorotan Pilkada, yaitu bagaimana agar Pilkada tidak menjadi pusat penyebaran Covid-19. Epidemiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, mengatakan penerapan protokol kesehatan yang ketat adalah kunci.
"Sebagian besar kasus Covid-19 adalah tidak bergejala. Jadi kalau tidak bergejala suhunya juga normal dan kemudian melakukan cek suhu itu tidak akan bisa mencegah orang yang terinfeksi tidak masuk ke situ," ujar Riris dalam webinar sosialisasi pungut hitung Pilkada 2020, Rabu (11/11).
Menurut dia, orang yang bersuhu badan di atas normal bisa jadi karena cuaca panas, sehingga suhu permukaan kulitnya lebih panas. Riris meminta penyelenggara memastikan setiap orang yang datang ke TPS wajib memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Kemudian, ia juga menyoroti penggunaan paku atau alat pencoblosan kertas suara yang akan dipakai bersama oleh para pemilih. Padahal, penularan virus corona bisa terjadi karena seseorang menyentuh benda-benda yang mudah terkontaminasi.
"Maka kalau memungkinkan alat-alat yang digunakan itu alat sekali pakai. Jadi begitu dipakai terutama oleh pemilih, kemudian langsung dibuang," kata Riris.
Jika alat pencoblosan sekali pakai itu tidak memungkinkan, ia meminta penyelenggara memastikan pemilih mensterilkan tangan dengan cairan penyanitasi sebelum menyentuh tubuhnya atau benda lain. Hal ini sebagai upaya mencegah kontaminasi.
Selain itu, Riris tidak menyarankan penggunaan sarung tangan. Sarung tangan berfungsi untuk melakukan pencegahan kalau memang virusnya itu menular lewat kulit, tetapi yang terjadi virus masuk melalui saluran pernapasan.
"Meskipun memakai sarung tangan kalau kemudian sarung tangan itu terkontaminasi dan mereka tetap tanpa sengaja menyentuh mulut, hidung, atau mata, ketika memakai sarung tangan, maka penularan akan terjadi," jelas Riris.
Ia meminta KPU mengadakan tes swab kepada para petugas di lapangan ketimbang rapid test. Menurutnya, rapid test tidak cukup memastikan orang tidak terinfeksi Covid-19.
Komisioner KPU RI, Ilham Saputra, mengatakan tetap akan menerapkan penggunaan sarung tangan bagi petugas maupun pemilih dan pengecekan suhu badan setiap orang sebelum masuk TPS. Hal ini sebagai upaya antisipasi pencegahan penyebaran virus corona.
"Khawatir nanti kemudian ada pemilih yang suhu tubuhnya lebih dari 37,3 derajat celsius, kami sudah sediakan bilik khusus," kata Ilham.
Ia mengaku sudah berkoordinasi dengan KPU daerah agar petugas pemungutan suara menjalani rapid test. Walaupun rapid test tidak cukup efektif mendeteksi seseorang terkena paparan Covid-19 atau tidak, Ilham mengatakan tidak punya pilihan lain.
"Karena memang pertama bahwa untuk swab itu lumayan mahal biayanya, kita hanya didukung oleh pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat melakukan rapid," tutur Ilham.
Namun, kata dia, kemungkinan ada daerah yang bisa memberikan swab test bagi para petugas. Hal ini berdasarkan pengalaman KPU daerah dalam tahapan rekrutmen penyelenggara ad hoc beberapa waktu lalu.