Kamis 12 Nov 2020 15:13 WIB

Pengukuran Suhu Tubuh Kerap Luput Menjaring Kasus Covid-19

Studi menunjukkan pengukuran suhu tubuh tak efektif mendeteksi pengidap Covid-19.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Pengukuran suhu tubuh. Pengidap Covid-19 tidak selalu memiliki gejala demam.
Foto: ANTARA/FIKRI YUSUF
Pengukuran suhu tubuh. Pengidap Covid-19 tidak selalu memiliki gejala demam.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pengukuran suhu tubuh di sejumlah tempat umum disinyalir tidak memiliki dampak signifikan untuk pencegahan penularan Covid-19. Studi terkini menunjukkan bahwa pasien positif Covid-19 tidak selalu memiliki gejala demam.

Riset digagas oleh para peneliti dari Icahn School of Medicine di Mount Sinai, New York, Amerika Serikat, bersama tim dari Naval Medical Research Center. Hasilnya telah terbit di New England Journal of Medicine pada Rabu (11/11).

Baca Juga

Penelitian melibatkan calon personel angkatan laut yang akan menjalani pelatihan militer dan melakukan tes kesehatan. Beberapa rekrutan marinir itu ternyata menularkan Covid-19 ketika melalui prosedur karantina yang sangat ketat.

Sebanyak 1.848 peserta yang terlibat (90 persen di antaranya laki-laki), melakoni isolasi mandiri terlebih dahulu di rumah masing-masing selama dua pekan. Kemudian, mereka melakukan karantina lanjutan selama dua pekan berikutnya.

Karantina militer yang diawasi dengan ketat itu berlangsung di kampus tertutup di The Citadel, Charleston, South Carolina. Tiap peserta tidur dalam kamar masing-masing, mengenakan masker wajah, dan selalu menjaga jarak aman sejauh dua meter.

Hampir semua pelatihan berlangsung di luar ruang. Secara berkala, mereka melakukan pengecekan demam dan gejala lain. Masing-masing dites corona tiga kali, ketika tiba di lokasi karantina militer lalu tujuh dan 14 hari sesudahnya.

Sebanyak 16 orang didiagnosis positif corona ketika tiba di lokasi dan hanya satu orang yang memiliki gejala demam. Sebanyak 35 orang positif Covid-19 pada pengujian dua pekan setelah kedatangan dan hanya empat yang menunjukkan gejala.

Hanya peserta yang selalu dinyatakan negatif pada akhir karantina yang boleh pergi ke Pulau Parris untuk program latihan dasar. Uji genetik mengungkap, ada enam klaster kasus di antara semua peserta calon marinir tersebut.

"Banyak infeksi yang terjadi, kami bahkan tidak menyadarinya,” kata salah satu pemimpin studi, Komodor Angkatan Laut Andrew Letizia, dokter di Naval Medical Research Center, dikutip dari AP, Kamis (12/11).

Pemimpin studi lainnya, Stuart Sealfon dari Mount Sinai, mengatakan, tindakan karantina di lokasi pelatihan jauh lebih ketat daripada tempat lain. Itu sebabnya dia sangat mewanti-wanti kewaspadaan terhadap Covid-19 yang sangat menular.

Jodie Guest, peneliti kesehatan masyarakat di Universitas Emory Atlanta yang tidak terlibat dalam penelitian, menyoroti implikasi dari hasil studi tersebut. Menurut dia, lokasi seperti perguruan tinggi, penjara, dan pabrik sangat rentan. Tempat-tempat tersebut tidak bisa hanya mengandalkan pemeriksaan suhu tubuh untuk mendeteksi infeksi dan mencegah penularan.

"Tes rutin tampaknya lebih baik pada kelompok usia dewasa muda karena sering kali mereka tidak memiliki gejala," tutur Guest.

Sebelumnya, pejabat federal mengatakan, penyaringan pemeriksaan suhu dan gejala corona di bandara AS menangkap kurang dari 15 kasus di antara 675 ribu pelancong. Tidak diketahui berapa banyak kasus yang terlewat karena hanya sedikit yang terdeteksi.

Studi terpisah lain yang terbit di jurnal New England melaporkan penularan masif di kapal induk USS Theodore Roosevelt musim semi silam. Sebanyak 1.271 kasus terdeteksi di antara 4.779 orang awak kapal yang kebanyakan dewasa muda.

Sebanyak 77 persen tidak menunjukkan gejala saat didiagnosis dan 55 persen lainnya sama sekali tidak mengalami gejala apapun. Kasus itu menunjukkan bahwa kalangan dewasa muda diam-diam dapat berkontribusi pada penyebaran virus.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement