REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Rusli Abdullah, mengatakan, mekanisme impor produk hortikultura, termasuk bawang putih seharusnya bisa dilakukan dengan mudah. Hal itu demi menjaga tingkat harga dalam negeri agar tetap stabil sekaligus tidak bersamaan dengan waktu panen.
Rusli mengatakan, impor produk pangan memang lekat dengan para pemburu rente. Itu lantaran perputaran produk pangan cukup singkat dengan keuntungan yang besar. Karena itu, pemerintah harus berpegang bahwa impor pangan tidak boleh merugikan petani maupun konsumen.
"Itu prinsipnya, kalau pemerintah sadar dengan prinsip itu, seharusnya tidak ada kesan proses rekomendasi dan izin impor seperti diulur-ulur," kata Rusli, Kamis (12/11).
Ia mengatakan, Rusli mengatakan, jika proses impor justru diperlambat oleh pengusaha, dapat diyakini hal itu sengaja dilakukan untuk menaikkan harga dalam negeri. Namun, jika proses diperlambat sejak dalam proses penerbitan izinnya, bisa jadi disebabkan oleh sistem birokrasi yang berlebih.
"Ini harus dipercepat supaya tidak merugikan. Kalau memang sengaja diundur ini bisa ditelisik bahkan digugat saja," ujar dia.
Dirinya pun mengingatkan, kebijakan impor maupun ekspor harus memperhatikan seluruh pihak yang terlibat. Baik konsumen, petani, maupun pengusaha wajib sama-sama mendapatkan keuntungan sehingga rantai pasok pangan bisa tetap kondusif. Lebih jauh dari itu, pemberian rekomendasi dan izin impor kepada para pengusaha juga harus menjaga level of playing field agar tidak menimbulkan kecemburuan.
Perkumpulan Perkumpulan Pelaku Usaha Bawang Putih dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo) mengusulkan agar proses pengurusan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan Surat Persetujuan Impor (SPI) dibuat satu pintu. Hal itu agar memudahkan proses izin impor yang kerap menghambat masuknya bawang putih.
Ketua Pusbarindo, Valentino, mengatakan, berkaca dari proses yang telah berjalan, penerbitan RIPH maupun SPI kerap kali tidak sesuai jadwal. Bahkan, setelah RIPH diterbitkan oleh Kementerian Pertanian (Kementan), SPI diterbitkan berbulan-bulan kemudian bahkan hingga berganti tahun.
Padahal, sesuai aturannya, penerbitan RIPH dilakukan maksimal lima hari kerja sementara SPI maksimal dua hari kerja. "Kami usulkan satu pintu jadi penerbitan RIPH plus SPI sehingga tidak ada waktu yang terbuang dan meminimalisasi hal-hal diluar dugaan kita," kata dia.
Lebih lanjut, ia pun meminta agar semua dilakukan dengan sistem daring. Pelaku usaha yang mengajukan RIPH dan SPI serta yang telah mendapatkannya harus dapat diketahui oleh publik. Menurutnya, dengan sistem transparansi itu, maka tata kelola importasi bawang putih dapat teratur sehingga kebutuhan dalam negeri dipenuhi sesuai waktunya.
Selain itu, ia juga mengusulkan agar pengajuan RIPH diberikan batasan. "Kami ajukan agar bisa dikasih batasan karena saat ini yang terjadi ada satu perusahaan sampai bisa mengajukan 40-50 ribu ton, kami tidak tahu apakah mereka punya gudang besar atau bagaimana," ujarnya.
Menruut dia, dengan sistem yang saat ini, masing-masing importir berlomba mengajukan RIPH sebanyak-banyaknya. Hal itu agar SPI yang diterbitkan juga dapat lebih besar. Sebab, selama ini, penerbitan SPI selalu jauh di bawah angka importasi yang diajukan dalam RIPH.
Hal itu lantaran Kemendag membatasi angka impor bawang putih maksimal sekitar 500 ribu ton, meskipun RIPH yang diterbitkan Kementan melebihi angka itu. "Masalah yang terjadi adalah perebutan SPI sehingga ini menjadi suatu perhatian buat kita semua untuk bisa memecahkan masalah ini," kata dia.