REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Pemimpin Hizbullah Lebanon Sayyed Hassan Nasrallah mengatakan pada Rabu (11/11) bahwa dia senang dengan "kekalahan memalukan" yang dialami Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Namun, ia mendesak sekutu-sekutu di kawasan untuk waspada terhadap "kebodohan" AS atau Israel selama sisa masa jabatan Donald Trump. Sayyed Hassan Nasrallah, dalam pidato yang disiarkan televisi, menggambarkan pemerintahan Trump sebagai "di antara yang terburuk, kalau bukan yang terburuk" di Amerika Serikat.
Tetapi, ia mengatakan presiden baru AS tidak akan mengubah kebijakan Washington yang pro-Israel di Timur Tengah. Sambil menggambarkan pemilihan AS sebagai parodi demokrasi, Nasrallah menuduh Trump tidak bisa menahan diri dan mengatakan "arogansi dan agresivitas" pemerintahannya telah meningkatkan kemungkinan terjadinya perang.
Pemimpin Hizbullah yang didukung Iran itu mengatakan bahwa dia juga secara pribadi merasa senang atas hasil pemilihan AS karena Trump telah memerintahkan pembunuhan jenderal tertinggi Iran Qassem Soleimani.
"Dengan orang seperti Trump, segala sesuatu mungkin terjadi selama sisa masa jabatannya ... poros perlawanan harus dalam keadaan kesiapan tinggi untuk merespons dua kali lebih keras jika ada kebodohan Amerika atau Israel," kata Nasrallah, merujuk poros itu pada Hizbullah dan sekutu-sekutuIran di kawasan.
Pemerintahan Trump telah memperluas sanksi terhadap Hizbullah, yang dianggap Washington sebagai kelompok teroris, serta terhadap sekutu-sekutu Hizbullah di Lebanon sebagai bagian dari upaya yang dilancarkan AS untuk memberikan tekanan maksimum terhadap Iran. Langkah tersebut telah meningkatkan ketegangan di kawasan.
Nasrallah mengatakan sanksi AS yang dijatuhkan minggu lalu pada Gebran Bassil, menantu presiden Lebanon, atas tuduhan korupsi dan hubungan dengan Hizbullah adalah bagian dari upaya Washington untuk menekan sekutu politik gerakan bersenjata itu.