REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejakgung) mendukung upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan supervisi, dan membuka penyelidikan-penyidikan baru skandal hukum terpidana Djoko Sugiarto Tjandra. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ali Mukartono menegaskan, institusinya tak mempersoalkan jika KPK ikut dapat mengakses dokumen, dan seluruh berkas penanganan kasus Djoko Tjandra.
“Supervisi dan tindak lanjut (penyelidikan dan) penyidikan baru itu, memang kewenangan KPK. Dan itu memang dibolehkan dalam UU (Undang-undang) KPK,” kata Ali saat ditemui di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejakgung, Jakarta, Kamis (12/11).
Sebagai bentuk dukungan itu, kata Ali, sebagai JAM Pidsus, ia sudah memberikan izin, bagi KPK untuk mengakses penuh, dan mendapatkan seluruh dokumen, serta berkas perkara kasus Djoko Tjandra.
“Makanya, saya merasa, sudah meng-acc (memberikan izin), permintaan KPK itu (mendapatkan dokumen, dan berkas penanganan perkara Djoko Tjandra),” terang Ali.
Namun, Komisioner KPK Nawawi Pamolango mengatakan, tim supervisinya, belum mendapatkan akses dokumen, serta berkas penanganan perkara Djoko Tjandra yang ditangani JAM Pidsus, maupun Bareskrim Polri. Padahal, kata Nawawi, permintaan tersebut, sudah dilayangkan KPK, dua kali pada 22 September dan 8 Oktober 2020.
Sebetulnya, Ali Mukartono, tercatat tiga kali menanggapi desakan publik, agar KPK melakukan supervisi, pun penanganan lanjutan skandal Djoko Tjandra. Terakhir kali, pada September 2020, Ali pernah mendorong, agar KPK melanjutkan penyelidikan, maupun penyidikan, terkait dugaan keterlibatan pihak-pihak lain yang terlibat dalam skandal Djoko Tjandra, namun belum tertangani.
Sebelum itu, bahkan Ali mengundang KPK, bersama Komisi Kejaksaan (Komjak), dan Bareskrim Polri, dan Kementerian Kordinator Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) melakukan gelar perkara bersama terkait skandal Djoko Tjandra tersebut, (7/9). Gelar perkara tersebut, pun dilakukan dua kali, setelah tim penyidikan dari JAM Pidsus, dan Bareskrim menyambangi KPK, untuk melakukan gelar perkara serupa, pada akhir September lalu.
Skandal hukum terpidana Djoko Tjandra, ditangani terpisah oleh JAM Pidsus dan Bareskrim Polri. JAM Pidsus, melakukan penyidikan terkait suap-gratifikasi, dan permufakatan jahat melakukan korupsi berupa upaya penerbitan fatwa bebas MA untuk terpidana Djoko Tjandra. Dalam kluster kasus tersebut, JAM Pidsus menetapkan tiga orang tersangka. Yakni Djoko Tjandra, politikus Nasdem Andi Irfan Jaya, dan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Sementara di Bareskrim Polri, penyidikan terkait dua kluster, yakni surat jalan palsu yang juga menetapkan Djoko Tjandra sebagai tersangka bersama pengacaranya, Anita Dewi Kolopaking, bersama Brigjen Prasetijo Utomo. Bareskrim, juga melakukan penyidikan terkait suap-gratifikasi penghapusan red notice Djoko Tjandra dalam daftar DPO Interpol dan Imigrasi.
Dalam kasus suap-gratifikasi penghapusan red notice tersebut, Bareskrim menetapkan Djoko Tjandra, bersama Brigjen Prasetijo, serta Irjen Napoleon Bonaparte, bersama pengusaha Tommy Sumardi sebagai tersangka. Seluruh kasus tersebut, saat ini sudah naik ke persidangan. Kasus pengurusan fatwa MA, dan penghapusan red notice sudah disidangkan di PN Tipikor Jakarta. Sedangkan terkait pidana umum surat jalan palsu, disorongkan ke PN Jakarta Timur (Jaktim).