REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemimpin Redaksi Journal of America, Abdus Sattar Ghazali, mengomentari Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinian yang mengklaim menandatangani perjanjian dengan pemimpin Azerbaijan dan Rusia untuk mengakhiri perang dengan Azerbaijan.
Menurut Ghazali, penyerahan virtual Pashinian ke Azerbaijan memang masuk akal jika kemudian memicu demonstrasi kekerasan di Armenia pada Selasa kemarin.
Meski demikian, penyerahan itu ia akui bukan tanpa alasan. Terlebih, ketika seruan dari Rusia berulang kali diterimanya untuk menyerahkan Nagorno-Karabakh. Mengutip tulisannya yang terbit di Milli Gazette Jumat (13/11), hal itu juga dilakukan Rusia untuk membantu Armenia, mengenai klaimnya jika pertempuran sudah hampir masuk Armenia.
“Yang menarik, pada 7 Oktober, dalam sebuah wawancara dengan penyiar publik Rusia, Presiden Putin menegaskan kembali komitmen Rusia dalam Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif, atau CSTO, dia membayangkan bahwa serangan terhadap satu negara anggota dianggap sebagai serangan terhadap semua yang lain, dan masing-masing wajib mendukung sesama anggota,’’ katanya.
Ghazali melanjutkan, hal itu memang masih bertolak belakang dengan ungkapan Putin, yang menyebut konflik militer tidak terjadi di wilayah Armenia. Saat ini, yang perlu dipertanyakan, kata dia, adalah mengapa Presiden Rusia membiarkan pertempuran berlanjut, mengingat Armenia menderita kerugian besar.
Padahal, jika menilik ke belakang, Armenia justru berulang kali mengharapkan bantuan militer dari CSTO, jika perang terus berlanjut. Hal itu juga dikonfirmasi Sekretaris Jenderal CSTO, Nikolay Bordyuzha, pada 2009 lalu.
‘’Namun, banyak analis percaya, Putin mungkin ingin menghukum Armenia karena kebijakannya yang pro-Amerika Serikat dan pro-NATO,’’ katanya.
Sejauh ini, Armenia memang diketahui berkontribusi pada operasi yang dipimpin NATO dan bekerja sama dengan sekutu serta negara mitra lainnya di banyak bidang.