REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Seorang pemimpin oposisi Prancis menyatakan saat ini ada kebencian terhadap Muslim di Prancis dengan menggunakan kedok sekularisme. Dia menegaskan sekularisme tidak berarti membenci suatu agama.
"Ada kebencian terhadap Muslim dengan kedok sekularisme di negara ini. Sekularisme tidak berarti membenci sebuah agama," Jean-Luc Melenchon, pemimpin gerakan France Unbowed dan anggota parlemen dari wilayah Mediterania dengan populasi Muslim yang besar, dilansir di Anadolu Agency, Jumat (13/11).
Melenchon mengatakan Muslim harus dihormati dan kecurigaan terus menerus terhadap mereka juga harus diakhiri. Dia menuturkan, akan terus mengulangi pernyataan ini meskipun beberapa orang tidak menyukainya. Dia juga menekankan bahwa dia menentang kebencian terhadap Muslim.
Melenchon telah menerima tanda tangan dari 150 ribu warga untuk mendukung pencalonannya dalam pemilihan presiden 2022. Menurut dia, metode memerangi terorisme harus diubah. Bulan lalu, Macron menggambarkan Islam sebagai "agama dalam krisis" dan mengumumkan rencana hukum yang lebih ketat untuk menangani "separatisme Islam" di Prancis.
Ketegangan semakin meningkat setelah guru sekolah menengah Samuel Paty dibunuh dan dipenggal pada 16 Oktober di pinggiran kota Paris sebagai pembalasan karena menunjukkan kepada siswanya kartun Nabi Muhammad yang menghujat selama kelas tentang kebebasan berekspresi.
Kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh majalah mingguan Prancis Charlie Hebdo juga diproyeksikan pada gedung-gedung di beberapa kota Prancis. Macron membela kartun itu, dengan mengatakan Prancis "tidak akan melepaskan kartun kami", yang memicu kemarahan di seluruh dunia Muslim.
Sebelumnya, Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard mengatakan, negaranya tidak menentang Islam. Sebagai penganut sekularisme, Prancis, kata dia, justru melindungi semua agama.
Pernyataannya terkait dengan kontroversi penerbitan karikatur Nabi Muhammad SAW oleh tabloid Charlie Hebdo. "Kesalahpahaman datang dari fakta bahwa beberapa Muslim berpikir bahwa Prancis melawan Islam karena Prancis mendukung karikatur (Nabi Muhammad). Ini bukanlah yang sebenarnya terjadi," kata Chambard saat menggelar temu media di Kedubes Prancis di Jakarta pada Senin (9/11).
Dia mengatakan, di Prancis, kritisisme atau membuat lelucon tentang agama tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Apakah ini mengkritik Paus, Nabi Muhammad, atau rabi Yahudi.
Penuntutan dapat dilakukan jika terdapat pihak atau individu yang menyerukan untuk membunuh dan membenci. Chambard mengerti terdapat pihak yang terluka akibat penerbitan karikatur Nabi Muhammad. "Tapi kita tidak dapat menuntutnya," ucapnya.
Chambard mengatakan telah membaca di jejaring sosial dan surat kabar bahwa sekularisme Prancis menentang Islam. Dia menegaskan bahwa sekularisme Prancis, ketika itu bermula, tidak ada Islam di negara tersebut. "Jadi berpikir bahwa sekularisme Prancis menentang Islam tidak masuk akal," ujarnya.
Ia menjelaskan sekularisme telah terbentuk sejak Revolusi Prancis pada akhir abad ke-18. Awalnya, Prancis adalah negara penganut Katolisisme. Namun hal tersebut mempersulit agama lainnya. "Jadi jika Anda memikirkan satu hal tentang sekularisme Prancis, setiap orang bebas untuk memeluk agama apa saja, apakah itu Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Yahudi," kata Chambard.
Sebagai negara sekuler, Prancis tidak melarang praktik keagamaan tertentu. Misalnya, wanita Muslim diizinkan menggunakan hijab atau kerudung. Namun dalam hal pelayanan publik, simbol-simbol agama tidak diperkenankan.