Jumat 13 Nov 2020 17:33 WIB

Di Balik Agenda Rasisme Israel Terhadap Warga Arab Palestina

Upaya meminggirkan warga Arab Palestina terus dilakukan Israel

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Upaya meminggirkan warga Arab Palestina terus dilakukan Israel.  Ilustrasi penghancuran bangunan milik warga Palestina
Foto: Anadolu Agancy
Upaya meminggirkan warga Arab Palestina terus dilakukan Israel. Ilustrasi penghancuran bangunan milik warga Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bahasan tentang rasisme institusional Israel terhadap penduduk Arab Palestinanya sendiri telah terhenti setelah adanya persetujuan akhir dari Undang-Undang Negara-Bangsa yang diskriminatif pada Juli 2018. 

Tambahan terbaru pada Undang-Undang Dasar Israel hanyalah permulaan dari agenda yang dianut pemerintahan baru, yang dirancang untuk semakin meminggirkan lebih dari seperlima populasi Israel

Baca Juga

Pada 28 Oktober 2020, 18 anggota Parlemen Israel (Knesset) membuat taktik lain untuk menargetkan warga Arab Israel. Mereka mengusulkan RUU yang akan mencabut kewarganegaraan Israel untuk setiap tahanan Arab Palestina di Israel yang secara langsung atau tidak langsung menerima bantuan keuangan dari Otoritas Palestina (PA).

Anggota parlemen Israel ini tidak hanya mewakili partai sayap kanan, ultra-kanan dan agama, tetapi juga partai 'sentris' Biru dan Putih (Kahol Lavan). RUU yang diusulkan itu sudah mendapat dukungan mayoritas parlemen Israel.

Namun, apakah ini benar-benar tentang bantuan keuangan bagi para narapidana? Karena PA sendiri hampir bangkrut, apakah dengan demikian kontribusi keuangannya kepada keluarga tahanan Palestina, bahkan di Wilayah Pendudukan di Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Gaza, itu adalah simbolik saja?

Ramzy Baroud dalam artikelnya di laman Milli Gazzette, dilansir Jumat (13/11), mencoba memaparkan konteks alternatif terkait hal ini. Baroud adalah jurnalis dan editor The Palestine Chronicle dan juga peneliti senior non-residen di Center for Islam and Global Affairs (CIGA) dan juga di Afro-Middle East Center (AMEC).

Surat kabar Israel, Haaretz, pada 29 Oktober 2020 mengungkapkan bahwa pemerintah sayap kanan di bawah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, berencana untuk memperluas yurisdiksi kota Yahudi Harish di Israel utara sebesar 50 persen. Tujuannya untuk mencegah warga Palestina menjadi mayoritas di daerah itu.

Rencana darurat dirumuskan Kementerian Perumahan Israel sebagai tanggapan cepat terhadap dokumen internal, yang memproyeksikan bahwa, pada 2050, orang Arab Palestina akan menjadi 51 persen dari populasi yang berjumlah 700 ribu penduduk di kawasan itu.

Baroud menyebut, ini hanyalah dua contoh tindakan terbaru yang diambil dalam dua hari, bukti yang memberatkan bahwa undang-undang Negara-Bangsa hanyalah pengantar dari periode panjang rasisme kelembagaan, yang pada akhirnya bertujuan untuk memenangkan perang demografis sepihak yang diluncurkan Israel melawan rakyat Palestina beberapa tahun yang lalu.

Karena pembersihan etnis secara langsung dilakukan Israel selama dan setelah perang 1948 dan 1967 bukanlah suatu pilihan, setidaknya tidak untuk saat ini, Israel sedang mencari cara lain untuk memastikan Yahudi menjadi mayoritas di Israel sendiri, di Yerusalem, di Area C di dalam Tepi Barat yang diduduki dan, selanjutnya di tempat lain di Palestina.

Sejarawan pembangkang Israel, Profesor Ilan Pappe, menyebut ini sebagai 'genosida tambahan'. Pembersihan etnis yang berlangsung lambat ini mencakup perluasan permukiman ilegal Yahudi di Yerusalem Timur dan Tepi Barat yang diduduki, dan usulan aneksasi hampir sepertiga Wilayah Pendudukan.

Baroud mengatakan, Jalur Gaza yang terkepung adalah cerita yang berbeda. Memenangkan perang demografis di wilayah berpenduduk padat tetapi kecil dengan dua juta penduduk yang tinggal dalam 365 km persegi, tidak pernah mungkin dilakukan. 

Namun, apa yang disebut 'pengerahan kembali' Gaza oleh mendiang perdana menteri Israel, Ariel Sharon, pada 2005 adalah keputusan strategis, yang bertujuan untuk memotong kerugian Israel di Gaza demi mempercepat proses kolonisasi di Tepi Barat dan Gurun Naqab. Sebagian besar pemukim ilegal Yahudi di Gaza akhirnya memang dipindahkan ke wilayah yang diperebutkan secara demografis ini.

Namun, bagaimana Israel menghadapi penduduk Arab Palestina sendiri, yang sekarang merupakan minoritas demografis yang cukup besar dan blok politik yang berpengaruh, yang seringkali bersatu? 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement