REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW--Majelis Ulama, kelompok ulama dan ulama yang merupakan bagian dari Administrasi Spiritual Muslim Rusia, mengeluarkan pernyataan tentang larangan pernikahan beda agama. Dalam keputusan tersebut mereka menyimpulkan bahwa pernikahan antara Muslim dengan Yahudi atau Kristen tidak dapat diterima.
Keputusan ini, meski telah disahkan pada November 2019, namun baru dipublikasikan secara daring pekan ini. Menurut dokumen tersebut, para ulama percaya bahwa pernikahan beda agama akan memunculkan sejumlah masalah, termasuk kesulitan dalam membesarkan anak dengan semangat iman Islam, dan kemungkinan bahwa pernikahan tersebut akan menyebabkan anak tidak menjadi seorang Muslim.
Mengikuti keputusan tersebut, Muslim yang ingin menikah dengan orang dari luar agama dapat menerima izin, tetapi dengan syarat tertentu. Secara khusus, dewan memutuskan bahwa wanita non-Muslim yang ingin mengikuti ajaran Al-Qur'an dapat menikah dengan pria Muslim. Namun, seorang wanita Muslim tidak dapat diterima untuk menikah dengan pria non-Muslim, terlepas dari pandangan dan keyakinannya.
Pada Rabu (11/11), Salah Haji Mezhiev, mufti Republik Chechnya yang mayoritas Muslim, mencatat bahwa larangan tersebut tidak kontroversial, dan merupakan sesuatu yang semua orang tahu adalah dilarang. Terlepas dari kesimpulan teologis dewan, dalam praktiknya, pernikahan antara Muslim Rusia dan Kristen kemungkinan besar akan berlanjut.
Menurut seorang pakar Islam, Roman Silantyev, ada empat mazhab hukum dalam Islam Sunni, dan hanya tiga di antaranya yang melarang pernikahan beda agama. Yang tidak memiliki aturan ini, Hanafi, adalah yang paling populer di Rusia. Islam sendiri adalah agama terbesar kedua di Rusia, setelah Kristen Ortodoks.
“Ternyata kesimpulan teologis dari Administrasi Spiritual Rusia bertentangan dengan sekolah di mana hampir semua penganutnya berasal. Almarhum Valiulla Yakupov [wakil mufti Tatarstan], dia memiliki istri Kristen, dan sejumlah pemimpin Muslim memiliki istri yang tidak berganti agama,” kata Silantyev.