REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan, pertumbuhan sektor pertanian, termasuk pangan tetap tinggi di tengah pandemi. Sementara, sektor lain terdampak cukup berat.
Maka, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis Pangan dan Kehutanan Franky Oesman Widjaja mengatakan, sektor pangan perlu terus dikembangkan. Menurutnya, kebijakan dan kemitraan yang berpihak kepada sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan industri pengolahan yang mendukung ketahanan pangan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan, harus terus didorong.
Hal tersebut selaras dengan hasil Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Ketahanan Pangan 2019 yang menyatakan, pangan dan pertanian bagian tidak bisa dipisahkan dalam sistem agribisnis dari hulu ke hilir. “Artinya keberadaan dan kebersamaan petani dengan pengusaha merupakan sebuah keniscayaan,” kata Franky dalam konferensi pers Jakarta Food Security Summit kelima (JFSS-5), Jumat (13/11).
Franky mengungkapkan, saat membuka JFSS ketiga pada 2015 lalu, Presiden Joko Widodo memberi target kepada Kadin untuk memberi pendampingan kepada satu juta petani, dari sebelumnya 200 ribuan petani. Target itu pun sudah berhasil diwujudkan pada awal 2020.
Franky menuturkan, bersama Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) telah memberikan pendampingan kepada lebih dari satu juta petani yang tersebar di seluruh Indonesia. Melalui pendampingan, kata dia, petani mampu meningkatan produktivitas yang secara otomatis meningkatkan pendapatan mereka.
Tidak hanya petani sawit dan produk perkebunan, Kadin pun melakukan pendampiangan terhadap petani palawija seperti padi dan jagung. Diharapkan ke depan, semakin banyak petani bisa didampingi.
"Kami bertekad meningkatkan pendampingan menjadi dua juta petani pada 2023,” tegasnya. Baginya, meningkatkan produktivitas para petani dan sekaligus mencapai ketahanan pangan tidaklah mudah karena ada sejumlah kendala yang harus dihadapi, seperti ketersediaan lahan, benih unggul, pupuk, pembiayaan, pemasaran, irigasi, sarana penyimpanan hasil pertanian dan saranaprasarana lainnya, serta kelembagaan.
Kendala lainnya yakni, kebijakan pemerintah menyangkut bibit dan bahan baku peternakan sapi penggemukan. Meski begitu, Kadin optimistis kendala tersebut dapat diatasi dengan mengembangkan pola kemitraan yang dilandasi prinsip saling menguntungkan antara pemerintah, pengusaha, perbankan, petani melalui koperasi, dan pemangku kepentingan lainnya dalam rantai pasok terintegrasi.
Model kerja sama yang digagas Kadin yaitu sistem Inclusive Closed Loop dan membangun ekosistem berusaha. Sistem ini, kata Franky, merupakan skema kemitraan saling menguntungkan dari hulu-hilir sehingga keberlanjutan produksi terjaga dan petani sejahtera.
Dalam sistem inclusive closed loop, ada empat unsur utama. Pertama Petani mendapat akses untuk membeli bibit dan pupuk yang benar, kedua, pendampingan kepada petani untuk menerapkan good practice agriculture. Lalu ketiga, kemudahan akses pemberian kredit dari lembaga keuangan, serta keempat, Jaminan pembelian hasil petani oleh perusahaan pembina (off taker).
Keberadaan off taker tersebut tidak hanya memberi pendampingan tetapi juga memberi jaminanpembelian atas hasil produksi dengan harga pasar. “Inclusive closed loop sudah berhasil diterapkan di komoditas sawit dan sudah mulai diikuti oleh komoditas lainnya,” jelasnya.