REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang komisaris radio di Gorontalo mempersoalkan perizinan berusaha untuk penyiaran yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon bernama Herman Dambea mempersoalkan norma dalam Pasal 33 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengatur perizinan penyelenggaraan penyiaran dari pemerintah pusat.
Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Jumat (13/11), menurut pemohon, perubahan nomenklatur perizinan penyelenggara penyiaran akibat berlakunya Pasal 33 Undang-Undang Cipta Kerja menyebabkan adanya perlakuan yang berbeda terhadap lembaga penyiaran swasta. Pemohon mendalilkan perubahan izin penyelenggara penyiaran (IPP) terhadap perizinan berusaha memudahkan terjadinya perpindahan penguasaan lembaga penyiaran swasta tanpa melalui pengalihan IPP.
Selanjutnya, dalil yang diutarakan pemohon adalah Pasal 33 Undang-Undang Cipta Kerja menimbulkan multitafsir dan kontroversial. Norma dalam pasal yang dimohonkan untuk diuji itu, menurut pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945.
Untuk itu, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 33 Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Pemohon pun mengusulkan agar perizinan berusaha untuk lembaga penyiaran tidak hanya dikeluarkan oleh pemerintah pusat, melainkan juga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Sebelumnya permohonan pengujian Undang-Undang Cipta Kerja yang masuk ke Mahkamah Konstitusi di antaranya mempersoalkan pembentukan undang-undang itu serta klaster ketenagakerjaan.