REPUBLIKA.CO.ID, BANJARNEGARA -- Bagi Pak Ngadiman (56 tahun), menjalani kehidupan ibarat menyusuri jalan setapak yang setiap langkahnya akan menyisakan jejak. Warga Desa Karangkemiri, Kecamatan Wanadadi, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, ini berkeinginan agar setiap jejak langkahnya dapat membawa arti, terutama bagi kemanusiaan.
Bagi Ngadiman, menolong sesama merupakan sebuah panggilan. Dan, ia memilih untuk menjawab panggilan itu dengan mendonorkan darahnya. Sejak 1986, saat usianya 22 tahun dan bekerja sebagai sopir mobil ambulans dan mobil jenazah di Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Banjarnegara, dia mulai mendonorkan darahnya.
Kali pertama mendonor darah, Ngadiman merasakan ada hangat menjalar ke seluruh tubuh, ia merasakan ada kebanggaan bisa mengambil bagian dalam aksi kebaikan. "Saya juga merasa tubuh menjadi enteng, merasa bugar dan sangat sehat setelah melakukan donor darah," katanya.
Sejak saat itu, Ngadiman mulai rutin mendonorkan darahnya, minimal tiga bulan sekali. Hingga saat ini, saat usianya menginjak 56 tahun, ia tercatat pernah mendonorkan darahnya sebanyak 118 kali.
Baginya, setiap tetes darah yang ia bagikan akan menjadi warisan kebaikan yang tidak dapat diukur dengan apapun. Menjadikannya tetap bersemangat melintasi setapak kehidupan dan menjadi lentera dalam setiap langkahnya.
Ngadiman berharap, setetes darah yang dibagi, dapat memberikan harapan, seperti bulir hujan yang jatuh tepat di atas daun meranggas pada saat musim kemarau.
Takut jarum
Sudah 34 tahun berlalu, sudah 118 kali mendonorkan darahnya, namun ketakutannya terhadap jarum suntik masih juga belum hilang. Selama puluhan tahun menjalani aksi donor darah, selama itu pula Ngadiman harus melawan takut.
Namun, rasa takut terhadap jarum suntik tidak menyurutkan langkahnya untuk berdonor. Keinginan untuk membantu sesama mengalahkan rasa takutnya. Rutinitas donor darah tersebut pernah membawanya mendapatkan lencana dan piagam dari Presiden dan Ketua Umum PMI atas dedikasi dan pengorbanannya membantu sesama melalui donor darah.
"Saya senang sekali dan menjadi semakin semangat untuk donor darah, apalagi saat pandemi Covid-19, seperti sekarang ini," kata Ngadiman.
Dia khawatir pandemi Covid-19 membuat jumlah pendonor berkurang. Sehingga Ngadiman merasa perlu lebih banyak mengambil peran. Bukan hanya sebagai pendonor darah, sejak awal pandemi ia juga terlibat aktif dalam aksi penyemprotan disinfektan.
Dia juga terlibat aktif dalam program sosialisasi Covid-19 yang dilakukan oleh PMI Kabupaten Banjarnegara. Bagi Ngadiman, ia bakal bersemangat melakukan aksi apapun selama bermuara pada kepentingan kemanusiaan.
"Saat berdonor masih merasa takut dengan jarum suntik dan saat mengendarai mobil ambulans atau mobil jenazah kadang juga merasa takut, misalkan takut terpapar Covid-19, atau juga takut saat dalam mobil yang dikendarai membawa jenazah yang merupakan korban hanyut atau tenggelam," katanya.
Ngadiman menjelaskan, selama puluhan tahun bertugas menjadi sopir ambulans dan mobil jenazah, sudah banyak membawa korban kecelakaan atau juga membawa jenazah dalam mobil yang dikendarainya. Namun, mengendarai mobil yang mengangkut jenazah korban hanyut membawa kecemasan tersendiri baginya.
Jadi inspirasi
Humas PMI Banjarnegara M Alwan Rifai menjelaskan, sosok Ngadiman atau yang akrab dipanggil "Babeh" tersebut sudah dianggap sebagai ayah sekaligus panutan penyemangat bagi para relawan. "Beliau masih aktif mendedikasikan hidupnya untuk kemanusiaan, siang dan malam siap dipanggil untuk misi kemanusiaan," katanya.
Menurut Alwan, keberadaan Ngadiman telah menjadi inspirasi bagi generasi muda agar tetap berjuang untuk kemanusiaan dan mengajarkan untuk selalu siap dan ikhlas menjadi pendonor darah sukarela. Terlebih lagi, pada awal masa pandemi ketersediaan darah di PMI Banjarnegara sempat menurun hingga 90 persen.
"Pada saat itu kegiatan donor darah keliling juga sempat terhenti dan lebih mengandalkan pendonor yang berasal dari relawan yang ada, untungnya pada hari ini ketersediaan darah sudah berangsur meningkat," kata Alwan.