REPUBLIKA.CO.ID, LISBON -- Inggris kembali menerapkan lockdown di wilayahnya sejak 5 November 2020. Tidak seperti kondisi lockdown pertama, warga Inggris kali ini terpantau tidak melakukan penimbunan barang bahkan sejak pertama kebijakan tersebut baru rencana.
Salah seorang warga, Leanne Barnes melihat banyaknya kembali barang yang memenuhi supermarket lokal mulai dari roti hingga tisu toilet. Hanya saja, barang-barang tersebut tetap terisi penuh dalam beberapa hari dan tidak banyak rak yang kosong.
Barnes terakhir kali mengisi dapurnya dengan beberapa makanan tambahan seperti keju, makaroni, ravioli, sup, dan spageti. Tapi, sampai pada pekan lalu, Barnes mengatakan tidak merasa ingin menimbun barang.
Sejauh ini, konsumen belum kembali kepada kegilaan membeli makanan yang membuat produsen makanan kemasan berebut pada awal tahun ini. Pada saat yang sama, perusahaan makanan besar termasuk Campbell Soup, Kraft Heinz, dan McCormick & Co, mengatakan kepada Reuters telah mengambil tindakan seperti mengubah produksi, pengemasan, atau penetapan harga sehingga pengecer dapat menyimpan di rak dengan persediaan yang cukup.
Langkah perusahaan makanan tersebut termasuk juga dengan memperluas manufaktur dan mempekerjakan lebih banyak pekerja. Selain itu juga mengubah rute produk dari restoran ke toko bahan makanan dan beralih ke ukuran kemasan yang lebih besar.
Para ekonom mengatakan, saat ini para pembeli menyadari tidak lagi mampu untuk belanja berlebihan. Hal tersebut yang mendorong masyarakat tidak melakukan penimbunan barang pada lockdown kedua.
Direktur Pusat Logistik dan Manajemen Rantai Pasokan Luksemburg, Benny Mantin mengatakan, konsumen lebih cenderung menahan diri dari menimbun barang bahkan saat promosi harga yang signifikan. Mantin menuturkan, kondisi ekonomi yang melemah membuat masyarakat ingin menghemat keuangannya.
Dalam analisis yang dilakukan Reuters, konsumen yang membeli barang memang jauh lebih sedikit khususnya di Amerika Serikat dan Eropa pada lockdown kedua ini dibandingkan saat awak 2020. Hanya saja, kondisi tersebut membuat perusahaan yang memproduksi barangnya mengalami kerugian sementara terjadi peningkatan produksi.
Pertumbuhan penjualan kuartal ketiga Beyond Meat melambat. Perusahaan tersebut bahkan membukukan kerugian bersih 19,3 juta dolar AS. Hal tersebut dikarenakan, perusahaan banyak mengeluarkan biaya produksi namun permintaan hanya sedikit.
McCormick juga mengalami lonjakan biaya dalam memproduksi rempah-rempah dan diharapkan permintaan bisa meningkat kembali pada kuartal keempat tahun ini. “Saya akan mengatakan bahwa hari ini, rantai pasokan kami jauh lebih banyak daripada di awal tahun,” kata Kepala Eksekutif McCormick Lawrence Kurzius.