REPUBLIKA.CO.ID, MINSK -- Organisasi hak asasi manusia di Belarusia mengatakan polisi menangkap lebih dari 900 orang yang berunjuk rasa Ahad (15/11) kemarin. Demonstran menuntut Presiden Alexander Lukashenko yang mereka anggap otoritarian untuk mundur.
Sejak awal Agustus lalu gelombang unjuk rasa terus terjadi hampir setiap hari di ibu kota Minsk. Polisi menggunakan pentungan, gas air mata, dan granat kejut untuk membubarkan pengunjuk rasa.
Pada Senin (16/11) organisasi hak asasi manusia Belarusia, Viasna, melaporkan polisi juga menahan pengunjuk rasa di kota Vitebsk dan Gomel. Mereka mengatakan total pengunjuk rasa yang ditangkap di seluruh Belarusia menjadi 923 orang dan sejumlah pengunjuk rasa dipukuli polisi di dalam tahanan.
Banyak pengunjuk rasa yang membawa poster untuk mengenang Raman Bandarenka. Bandarenka adalah pendukung oposisi yang tewas pada Kamis (12/11) lalu setelah dilaporkan dipukuli polisi di dalam tahanan.
Gelombang unjuk rasa kian membesar, menarik lebih dari 100 ribu orang. Unjuk rasa bermula dari hasil pemilihan presiden 9 Agustus lalu yang memutuskan Lukashenko memenangkan periode keenamnya. Oposisi dan sejumlah petugas pemungutan suara mengatakan hasil pemilihan tersebut dimanipulasi.
Selama 26 tahun masa kekuasaannya, Lukashenko telah menekan oposisi dan media independen. Ia menolak untuk bernegosiasi dengan oposisi dan menuduh unjuk rasa didukung oleh negara-negara Barat.