REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof. Cissy Prawira-Kartasasmita menjelaskan pembuatan vaksin Covid-19 dilakukan bisa lebih cepat karena semua prosesnya dilakukan secara pararel.
“Sekarang teknologi sudah maju, kemampuan sudah maju, biaya juga sudah ada. Jadi semuanya bisa dilakukan pararel,” kata Prof. Cissy dalam diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9, dipantau dari Jakarta, Senin (16/11).
Dalam proses pembuatan vaksin, terdapat beberapa tahapan mulai dari uji pra-klinik di laboratorium kemudian uji kepada binatang yang setelah aman baru dilakukan kepada manusia lewat uji klinis. Uji klinis sendiri terdapat empat fase.
Fase pertama menguji keamanan imunogenositas dan dosis yang melibatkan sekitar 20-100 relawan. Fase kedua menguji imunogenositas di kelompok yang lebih besar melibatkan 400-1.000 relawan.
Fase ketiga menguji keamanan pada jumlah relawan yang lebih besar, multisenter dan melihat khasiat vaksin pada kelompok yang diberikan vaksin dan placebo yang melibatkan puluhan ribu relawan. Fase keempat adalah setelah vaksin dipakai secara luas tetap dipantau keamanannya oleh regulator dan produsen.
"Dalam kasus vaksin Covid-19, untuk mengakselerasi proses maka beberapa fase dilakukan secara pararel dengan praktik keamanan dan pengawasan tetap dilakukan secara ketat," katanya.
Cissy tidak membantah terkadang terjadi kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) atau kejadian medis yang terjadi setelah dilakukan imunisasi. KIPI bisa terjadi akibat yang berhubungan atau tidak berhubungan dengan imunisasi, atau hanya kebetulan.
KIPI sendiri bisa dalam bentuk ringan, sedang atau berat. Umumnya ringan berupa kemerahan, sedikit bengkak atau demam yang umumnya hilang dalam dua-tiga hari.
KIPI, baik yang terjadi karena vaksin atau tidak berhubungan, tetap harus dilaporkan kepada Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Sejauh ini, dari 10 vaksin yang masih menjalani fase tiga uji klinis, belum ada vaksin Covid-19 yang mendapat persetujuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
“Tapi sebagian sudah ada yang mendapatkan yang disebut Emergency Use Authorization dari masing-masing regulatornya untuk dipakai mereka sendiri,” ujar dokter yang menjabat sebagai Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) itu.