REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Menteri Luar Negeri Suriah, Walid al-Moallem, meninggal dunia usia 79 tahun pada Senin (16/11). Dia dikenal menjadi salah satu wajah paling terkemuka Suriah secara global selama pemberontakan melawan Presiden Bashar Assad.
Penampilan terakhir Al-Moallem di depan umum adalah pada pembukaan konferensi pengungsi internasional di Damaskus pada Rabu (11/11). Ketika itu kesehatannya pun sudah tampak buruk. Keesokan harinya, dia tidak menghadiri upacara penutupan acara, yang diselenggarakan bersama dengan Rusia.
Al-Moallem meninggalkan istrinya, Sawsan Khayat dan tiga anaknya, Tarek, Shatha, dan Khaled. Dia akan dimakamkan pada Senin sore dan salat akan diadakan di sebuah masjid di Damaskus.
Sosok yang dikenal suka bercanda itu dilaporkan sedang mengalami kondisi yang memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Kantor berita pemerintah Suriah SANA, melaporkan kabar duka atas kepergiannya pertama kali, tanpa merinci penyebab kematiannya.
Lahir dari keluarga Muslim Sunni di Damaskus pada 1941, al-Moallem bersekolah di sekolah umum di Suriah dan kemudian melakukan perjalanan ke Mesir dan belajar di Universitas Kairo. Dia lulus pada 1963 dengan gelar sarjana di bidang ekonomi dan kembali ke Suriah untuk mulai bekerja di Kementerian Luar Negeri pada 1964, naik ke posisi puncak pada 2005.
Misi pertama Al-Moallem di luar negeri sebagai diplomat pada 1960-an adalah membuka Kedutaan Besar Suriah di negara Afrika di Tanzania. Pada 1966, dia pindah untuk bekerja di Kedutaan Besar Suriah di kota Jiddah Arab Saudi dan setahun kemudian pindah ke Kedutaan Besar Suriah di Madrid.
Baru pada 1990, Al-Moallem menjadi duta besar Suriah untuk Washington menghabiskan sembilan tahun di Amerika Serikat. Selama itu, Suriah mengadakan beberapa putaran pembicaraan damai dengan Israel.
Pada 2005, sosok tersebut diangkat menjadi Menteri Luar Negeri pada saat Damaskus diisolasi oleh negara-negara Arab dan Barat setelah pembunuhan mantan Perdana Menteri Lebanon, Rafik Hariri. Pemerintah Lebanon, Arab dan Barat menyalahkan Suriah atas ledakan besar yang menewaskan Hariri, meski berulang kali dibantah oleh Damaskus.
Pada 2006, al-Moallem menjadi politisi paling senior yang mengunjungi Lebanon setelah pasukan Suriah mundur. Dia menghadiri pertemuan menteri luar negeri Arab selama perang 34 hari antara Israel dan kelompok militan Hizbullah Lebanon, sekutu kuat Suriah.
"Saya berharap saya menjadi pejuang dengan perlawanan," kata al-Moallem di Beirut pada saat itu, memicu kritik dari aktivis Lebanon anti-Suriah yang mengolok-oloknya karena kelebihan berat badan dan tidak layak untuk berperang.
Setelah pemberontakan melawan Assad dimulai pada Maret 2011, Al-Moallem ditugaskan untuk mengadakan konferensi pers di Damaskus untuk mempertahankan posisi pemerintah. Dia melakukan perjalanan secara teratur ke Moskow dan Iran, pendukung utama pemerintah Suriah, untuk bertemu dengan para pejabat di sana.