REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK--Pukul 4 sore usai melaksanakan salat asar, Elya bergegas menuju dapur menyalakan kompor mendidihkan air yang kemudian memasukkannya ke dalam 2 termos miliknya. Dari kontrakan kecilnya yang berkisar 4x6 meter persegi, Elya mengeluarkan sebuah sepeda kecil bertempel keranjang dari depan ke belakang dan tempat duduk kecil di bagian tengah. (Senin, 16/11)
Dua anak kecil menghampirinya. “Ma, kita naik ya,” ucap salah satu anaknya. Di Jl. Margonda Depok, tim Lembaga Pelayan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa menjumpai seorang wanita pedagang kopi keliling. Wanita tersebut kerap terlihat bermain dan bercanda dengan dua anaknya. Beberapa orang silih berganti menghampirinya untuk membeli segelas kopi, atau sekedar hanya meneduh.
Elya Susanti namanya. Janda 31 tahun yang harus berjualan kopi keliling setelah kepergian suaminya. Ibu Elya memiliki 2 anak, Dilan (8) dan Soraya (6). Keduanya juga terpaksa harus ikut sang Ibu berjualan. Alasannya, di rumah tidak ada orang lagi yang merawat. “Saya jualan kopi keliling sejak tahun 2014. Tahun sebelumnya suami saya meninggal, maka otomatis tulang punggung berpindah kepada saya. Saya bisanya ya bikin kopi, jadi yang bisa saya dagangkan ya kopi keliling,” cerita Elya.
Elya mulai berjualan sejak pukul 5 sore, kemudian pulang pada pukul 22.00 malam. Sekitar 30 menit jarak waktu tempuh dari rumahnya menuju titik tempat dagangannya dengan berjalan kaki. Kegiatan lainnya, di pagi hari Elya mengajar kedua anaknya pelajaran-pelajaran sekolah. Selai itu juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti mencuci, masak, besih-bersih, dan lain-lain.
Berdagang kopi menjadi satu-satunya pemasukan bagi Elya untuk merawat dan menghidupi kedua anaknya. Tidak banyak memang yang bisa dilakukan olehnya. Pagi hari pun tak sempat Elya mencari pekerjaan lain, karena harus mendidik dan mengajari anak-anaknya, apalagi di saat kondisi pandemi seperti ini.
“Selain jualan kopi saya tidak ada pemasukan lain. Kalau pagi saya harus mengurus anak-anak sekolah. Apalagi sekarang belajar online. Saya mendadak jadi guru juga setiap pagi di rumah,” lanjut Elya.
Meski begitu, Elya mengaku tetap berusaha tegar dan sebisa mungkin menahan setiap keluhnya. Baginya, apapun kondisi yang dialaminya, ia akan tetap selalu mensyukuri. Namun satu hal yang ia sesali, adalah terpaksa ia harus mengajak anak-anaknya ikut berdagang di jalanan. Bahkan tak jarang, ketika hujan turun, mereka kebingungan mencari tempat teduh. Saat itu perasaan sedih Elya semakin meningkat.
Namun, hal itu yang menjadikannya semakin membara semangat juangnya. Ia terus berjuang mencari nafkah dan berusaha memberikan pendidikan terbaik buat anak-anaknya. Harapan besarnya, Dilan dan Soraya kelak memiliki kehidupan yang jauh lebih baik darinya. “Harapan saya semoga anak-anak jadi orang lebih baik dari saya. Saya kalau ngomongin anak-anak itu sangat sedih mas. Ibu mana yang mau anaknya ikut jualan. Saya nggak mau anak-anak ikut jualan, Saya mau anak-anak tetap di rumah, main sama teman-temannya. Tapi mau gimana lagi, kondisinya seperti ini. Anak-anak harus terpaksa ikut jualan. Pinggir jalan ini sudah menjadi rumah kedua bagi kita, hampir 6 jam setiap harinya mereka di sini," kata Elya dengan rona sendu.