REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ali Mansur, Nawir Arsyad Akbar, Flori Sidebang, dan Rr Laeny Sulistyawati
Kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab mengakibatkan kerumunan massa dalam jumlah besar. Akibatnya Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis mendadak mencopot jabatan dua Kapolda sekaligus, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana dan Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Rudy Sufahradi.
Keduanya dinilai tidak bisa melakukan pencegahan massa FPI yang berkumpul di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menyatakan pencopotan Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat adalah sanksi tegas dari Kapolri.
"Pencopotan Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat adalah bentuk sanksi tegas dari Kapolri," ujar Poengky Indarti saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (16/11).
Apalagi, kata Poengky, Kapolri sejak awal wabah Covid-19 sudah mengeluarkan Maklumat Kapolri yg menekan solus popoli suprema lex esto, atau keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Peran Polri dalam mengatasi wabah Covid-19 adalah membantu Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah.
Namun di sisi lain, kata Pengacara, sebagai aparat negara yang bertugas melayani, mengayomi, melindungi masyarakat dan menegakkan hukum guna mewujudkan harkamtibmas, maka Polri harus bertanggungjawab agar di wilayahnya tertib Kamtibmas. Maka Kapolda harus dapat berkoordinasi dengan baik dengan Gubernur.
"Kapolda juga harus dapat memastikan tindakan preventif dan preemtif dilaksanakan dengan baik. Jika sudah melaksanakan preventif dan preemtif, barulah melakukan penegakan hukum jika ternyata ada yang melanggar," tutur Poengky.
Dalam beberapa peristiwa terakhir, Poengky melihat khususnya di DKI Jakarta dan Jawa Barat diramaikan dengan massa Habib Rizieq Shihab (HRS) yang melanggar Protokol Kesehatan. Kemudian, kepolisian dalam melaksanakan tindakan preventif seharusnya mampu mendeteksi dan menganalisa keamanan. Juga melakukan koordinasi-koordinasi dengan stake holders dan decision makers, untuk preemtif.
"Misalnya melakukan patroli-patroli pencegahan kerumunan dan lain-lainnya, tapi faktanya malah terkesan ada pembiaran atau kegamangan dari Kepolisian, termasuk untuk melaksanakan penegakan hukum," terang Poengky.
Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry mengatakan pencopotan Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat menjadi peringatan bagi Kapolda lain. Kapolda harus tegas dalam penegakkan protokol Covid-19 di daerahnya masing-masing.
"Ini merupakan sinyal himbauan keras Kapolri kepada seluruh Kapolda beserta anggotanya untuk benar-benar serius menegakkan protokol Covid-19," ujar Herman kepada wartawan, Senin (16/11).
Polri, kata Herman, memang harus memastikan untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Khususnya bagi pelanggar protokol Covid-19, agar angka kasus positif di setiap daerah tak bertambah.
"Tapi, Kapolri juga harus memastikan bahwa mutasi ini benar-benar didasarkan pada reward and punishment yang proporsional. Jangan ada kesan tebang pilih," ujar Herman.
Ia mengimbau Polri untuk benar-benar menegakkan pidana bagi setiap pelanggar protokol kesehatan. "Untuk benar-benar menegakkan pidana bagi setiap pelanggar protokol kesehatan sebagaimana telah disampaikan Kapolri melalui maklumatnya," ujar Herman.
Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis mendadak mencopot jabatan dua Kapolda sekaligus, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Nana Sudjana dan Kapolda Jawa Barat Inspektur Jenderal Polisi Rudy Sufahradi. Kedua Kapolda tersebut dinilai tidak bisa melakukan pencegahan terjadinya kerumunanan massa Front Pembela Islam (FPI) yang berkumpul di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat pada pekan lalu.
Menurut Argo, Nana Sudjana digeser dari Kapolda Metro Jaya jadi Koordinator Ahli Kapolri dan posisi Kapolda Metro Jaya kini digantikan oleh Inspektur Jenderal Polisi Fadhil Imran. Sementara itu, Inspektur Jenderal Polisi Rudy Sufahriadi digeser menjadi Widekswasra Tingkat Satu pada Sespim Lemdiklat Polri. Untuk jabatan Kapolda Jawa Barat kini dipegang oleh Inspektur Jenderal Polisi Ahmad Dhofiri.
"Sanksi ini diberikan karena keduanya tidak bisa menjaga protokol kesehatan di wilayahnya," ujar Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono.
Sementara itu, terkait rencana pemeriksaan Gubernur DKI Jakarta oleh kepolisian besok (17/11) Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengaku belum mengetahui adanya surat pemanggilan dari polisi. Polda Metro Jaya rencananya akan memeriksa Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, mengenai adanya dugaan pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan dalam sejumlah acara Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab.
"Saya belum tahu," kata Ariza di Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin (16/11).
Ariza menambahkan, nantinya ia akan menanyakan perihal informasi pemanggilan tersebut secara langsung kepada Anies. "Nanti saya tanya," sambungnya.
Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono dalam konferensi pers di Mabes Polri, hari ini menyatakan, pihak kepolisian akan memanggil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pemanggilan terkait adanya dugaan pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan dalam sejumlah acara Imam Besar FPI.
"Tim penyidik sudah mengirimkan surat itu kepada Gubernur DKI Jakarta untuk diklarifikasi keterangannya karena hadir di acara pernikahan putri dari HRS (Habib Rizieq Shihab)," jelas Argo.
Selain memanggil Anies, penyidik juga akan memintai keterangan sejumlah pihak terkait. Mulai dari RT, RW, Lurah, Camat hingga Wali Kota Jakarta Jakarta Pusat dan juga beberapa tamu undangan. Pihak kepolisian akan meminta klarifikasi terkait acara di Petamburan hingga menyebabkan kerumunan massa di tengah pandemi covid-19.
"Kita lakukan klarifikasi dengan dugaan tindak pidana pasal 93 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan," tegas Argo.
Pernikahan anak Habib Rizieq Shihab (HRS) digelar beberapa hari lalu. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) khawatir pesta pernikahan atau momen yang mengundang kerumunan bisa menjadi klaster baru penularan virus corona SARS-CoV2 (Covid-19).
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menerangkan kerumunan dalam keadaan apapun sangat rentan menimbulkan penularan dan penyebaran Covid-19. "Kami tidak tahu (pernikahan anak HRS) menambah kasus Covid-19 atau tidak. Tetapi menurut ilmu yang kami ketahui, acara pernikahan atau momen liburan dikhawatirkan memunculkan kerumunan yang mendorong terjadi penambahan kasus Covid-19," kata Ketua Umum IDI, Daeng M Faqih.
Ia mengakui memang belum ada bukti laporan penambahan kasus Covid-19 usai pernikahan anak HRS. Alasannya, infeksi virus ini memiliki masa inkubasi hingga 14 hari, sedangkan akad nikah dan resepsi pernikahan tersebut baru beberapa hari lalu.
"Intinya bukan libur atau acara pernikahan siapapun, melainkan kerumunannya. Yang harus kita hindari adalah kegiatan yang memicu kerumunan," katanya.
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Letjen Doni Monardo, Ahad (15/11), juga sudah mengatakan aktivitas kerumunan hampir pasti membuat penularan Covid-19, baik menulari atau tertular. Ia menambahkan, mungkin bagi anak muda yang usianya di bawah 36 tahun dan sehat tidak memiliki penyakit penyerta (komorbid) rata-rata ketika terpapar Covid-19 hanya mengalami tanpa gejala.
Namun, dia melanjutkan, ketika bertemu dengan saudara yang dicintai yang memiliki komorbid dengan usia lanjut maka risikonya menjadi sangat fatal. "Data yang kami peroleh selama delapan bulan terakhir, angka kematian Covid-19 terjadi pada penderita komorbid dan kelompok lanjut usia (lansia) yang mencapai 80 sampai 90 persen. Ini angka yang sangat tinggi," ujarnya.
Ia menegaskan, oknum yang menyelenggarakan kegiatan dan kerumunan tersebut nantinya bukan hanya mendapatkan sanksi dari pemerintah di tetapi kelak mendapatkan dimintai pertanggungjawaban dari Tuhan.