REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengatakan AS perlu bernegosiasi dengan sekutunya untuk menetapkan aturan perdagangan global guna melawan pengaruh China yang kian besar. Kendati demikian, dia belum memutuskan apakah akan bergabung dengan perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) saat resmi menjabat.
“Kami (AS) membentuk 25 persen dari ekonomi di dunia. Kita perlu selaras dengan negara demokrasi lain, 25 persen atau lebih lainnya sehingga kita dapat menetapkan aturan jalan alih-alih membuat China dan lainnya mendikte hasil karena mereka adalah satu-satunya pilihan," kata Biden dalam sebuah konferensi pers di Wilmington, Delaware, pada Senin (16/11).
Biden mengaku sudah memiliki rencana perdagangan terperinci yang akan didiskusikan pada 21 Januari 2021 atau sehari setelah dia dilantik. Salah satu fokus Biden adalah investasi pada kalangan pekerja AS dan membuat mereka lebih kompetitif. Dia ingin agar kepentingan tenaga kerja dan lingkungan terwakili dalam setiap negosiasi perdagangan baru.
Biden pun sempat ditanya mengapa enggan mengomentari rencana perjanjian perdagangan ketika dia sudah memutuskan akan memasukkan kembali AS ke Kesepakatan Iklim Paris dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). "Anda bertanya kepada saya tentang apakah saya akan bergabung dengan proposal tertentu, rincian dari yang sekarang hanya dinegosiasikan di antara negara-negara itu. Ini akan membutuhkan negosiasi," ujarnya.
ASEAN bersama China, Australia, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan (Korsel) telah menandatangani RCEP pada Ahad (15/11). RCEP merupakan perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia.
RCEP ditandatangani di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang digelar secara virtual dengan Vietnam sebagai tuan rumah. Dalam pernyataan bersama, para pemimpin negara yang terlibat dalam RCEP mengapresiasi penandatanganan perjanjian perdagangan bebas tersebut.
"Ini akan mencakup pasar 2,2 miliar orang, atau hampir 30 persen dari populasi dunia, dengan PDB gabungan 26,2 triliun dolar AS atau sekitar 30 persen dari PDB global, dan menyumbang hampir 28 persen dari perdagangan global (berdasarkan angka tahun 2019)," kata mereka, dilaporkan Xinhua.
Mereka menilai kehadiran RCEP sangat penting untuk respons kawasan terhadap pandemi Covid-19. Dalam konteks ini, RCEP bakal berperan signifikan dalam proses pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Perdana Menteri China Li Keqiang memuji lahirnya RCEP setelah melalui pembicaraan sekitar delapan tahun. "Penandatanganan RCEP tidak hanya menjadi tonggak pencapaian kerjasama regional Asia Timur, tetapi juga kemenangan multilateralisme dan perdagangan bebas,” kata Li.
RCEP akan berlaku setelah masing-masing negara peserta meratifikasi perjanjian di dalam negeri dalam dua tahun ke depan.