Selasa 17 Nov 2020 17:11 WIB

Macron Kritik Media Atas Liputan Setelah Serangan Prancis

Media dikritik Macron usai serangan Prancis.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Muhammad Hafil
 Macron Kritik Media atas Liputan Setelah Serangan Prancis. Foto: Presiden Prancis Emmanuel Macron berbicara melalui telepon kepada Presiden terpilih AS Joe Biden, di Istana Elysee di Paris, Selasa, 10 November 2020.
Foto: AP/Ian Langsdon/EPA POOL
Macron Kritik Media atas Liputan Setelah Serangan Prancis. Foto: Presiden Prancis Emmanuel Macron berbicara melalui telepon kepada Presiden terpilih AS Joe Biden, di Istana Elysee di Paris, Selasa, 10 November 2020.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Presiden Prancis Emmanuel Macron menelepon seorang penulis New York Times atas liputan tentang sikap Prancis yang disebutnya sebagai “separatism Islam” usai serangan baru-baru ini. Menurutnya, itu sama dengan kekerasan yang melegitimasi.

“Ketika Prancis diserang lima tahun lalu, setiap negara di dunia mendukung kami,” kata Macron kepada Ben Smith selama panggilan telepon, yang dijelaskan Smith dalam kolom Ahadnya seperti dilansir Aljazeera, Selasa (16/11).

Baca Juga

Macron menyebut prinsip-prinsip dasar telah hilang ketika melihat liputan di beberapa surat kabar melihat sikap Prancis yang melegitimasi kekerasan ini. Dalam kolomnya, Smith mengatakan presiden Prancis berpendapat media asing gagal memahami 'laïcité' atau sekularisme, pilar kebijakan dan masyarakat Prancis.

Retorika yang sulit

Dukungan domestik dalam mewajibkan imigran untuk merangkul nilai-nilai Prancis lebih kuat daripada sebelumnya sejak majalah satir Charlie Hebdo menerbitkan ulang kartun Nabi Muhammad pada bulan September. Sosok Nabi sangat dihormati oleh umat Islam dan segala jenis penggambaran visual tentang dirinya dilarang dalam Islam. Karikatur yang dimaksud dipandang oleh umat Islam sebagai ofensif dan Islamofobia karena dianggap mengaitkan Islam dengan "terorisme".

Penerbitan ulang kartun tersebut menandai pembukaan persidangan orang-orang yang dituduh membantu dua pria yang melancarkan serangan mematikan terhadap Charlie Hebdo pada tahun 2015 lalu. Setelah publikasi ulang, seorang pria melukai dua orang dengan pisau daging pada tanggal 25 September di luar bekas kantor Charlie Hebdo.

Guru Samuel Paty, yang telah menunjukkan kartunnya di kelasnya, dipenggal di luar sekolahnya pada tanggal 16 Oktober. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 29 Oktober, seorang pria yang baru datang dari Tunisia membunuh tiga orang dengan pisau di sebuah gereja Nice.

Serangan tersebut telah mendorong retorika yang lebih keras dari Macron terhadap apa yang dia sebut "separatisme Islam". Saat memberikan penghormatan kepada Paty, Macron membela sekularisme Prancis yang ketat dan tradisi satirnya yang panjang. "Kami tidak akan menyerah untuk kartun," ujar dia.

Memboikot barang Prancis

Sementara itu, ribuan orang di seluruh dunia Muslim telah memprotes Macron dan pemerintahannya. Mereka protes atas komentar pemimpin Prancis itu, Islam adalah agama yang krisis secara global. Beberapa negara Muslim telah menyerukan boikot terhadap produk Prancis.

Financial Times menerbitkan artikel oleh koresponden yang berjudul : Perang Macron terhadap "separatisme Islam" hanya memecah Prancis lebih jauh. Artikel tersebut kemudia diturunkan dengan mengutip kesalahan faktual.

Demi mempertahankan sikap Prancis dalam sebuah surat kepada FT, Macron membantah menstigmatisasi Muslim. Macron menulis, "Prancis kami diserang karena ini sama sekulernya bagi Muslim seperti bagi orang Kristen, Yahudi, Budha, dan semua orang percaya." 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement