REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed pada Selasa (17/11) mengatakan operasi militer bersifat krusial akan diluncurkan dalam beberapa hari mendatang. Langkah ini dilakukan untuk melawan pemerintah wilayah Tigray utara yang memberontak di negara itu.
Abiy dalam sebuah unggahan di media sosial mengatakan tenggat waktu tiga hari yang diberikan kepada para pemimpin wilayah Tigray dan pasukan khusus telah berakhir pada Selasa. Kondisi ini membuat pemerintahannya akan mengambil tindakan yang cepat dan menjadi penutup.
Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian tahun lalu ini terus menolak permintaan internasional untuk dialog dan de-eskalasi dalam konflik dua pekan di Tanduk Afrika. Konflik tersebut telah meluas ke negara tetangga Eritrea dan mengirim lebih dari 25 ribu pengungsi Ethiopia ke Sudan.
Tetangga Ethiopia, termasuk Uganda dan Kenya, telah menyerukan resolusi damai. Namun, pemerintah Abiy menganggap pemerintah daerah Tigray ilegal setelah menantang mengadakan pemilihan lokal pada September.
Pemerintah daerah Tigray menyatakan keberatan dengan penundaan pemilihan nasional hingga tahun depan karena pandemi Covid-19. Mereka pun menganggap pemerintah federal Abiy berjalan secara ilegal karena mandatnya telah berakhir.
Pemerintah federal Ethiopia juga mengonfirmasi melakukan serangan udara baru di luar ibu kota Tigray, Mekele, pada Selasa. Serangan itu diklaim dilakukan secara presisi dan menyangkal pernyataan pemerintah Tigray bahwa warga sipil telah terbunuh. Hubungan komunikasi dan transportasi dengan wilayah Tigray hampir seluruhnya terputus sehingga sulit untuk memverifikasi klaim kedua belah pihak.