Rabu 18 Nov 2020 15:26 WIB

Aktivitas Tertahan, Kredit 2020 Diperkirakan Tumbuh 3 Persen

Perpanjangan restrukturisasi kredit dinilai semakin membebani perbankan.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolandha
Ekonom senior Institute Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani memproyeksikan, pertumbuhan kredit perbankan pada tahun depan masih berada di level rendah, yaitu antara tiga hingga empat persen. Kondisi ini sedikit membaik dibandingkan prediksi tahun ini yang berada di kisaran satu persen.
Foto: istimewa
Ekonom senior Institute Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani memproyeksikan, pertumbuhan kredit perbankan pada tahun depan masih berada di level rendah, yaitu antara tiga hingga empat persen. Kondisi ini sedikit membaik dibandingkan prediksi tahun ini yang berada di kisaran satu persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Institute Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani memproyeksikan, pertumbuhan kredit perbankan pada tahun depan masih berada di level rendah, yaitu antara tiga hingga empat persen. Kondisi ini sedikit membaik dibandingkan prediksi tahun ini yang berada di kisaran satu persen.

Aviliani menjelaskan, rendahnya pertumbuhan kredit karena masih ada tekanan yang tinggi terhadap ekonomi dari sisi dunia usaha maupun masyarakat. Meskipun proses vaksinasi diyakini sudah berlangsung, tetap ada lag time agar mereka bisa beraktivitas normal dan meminjam ke bank.

Baca Juga

Setidaknya, dibutuhkan waktu enam bulan bagi perseorangan dan perusahaan untuk menarik kredit. "Ini menunjukkan, pertumbuhan kredit tiga persen saja di tahun depan sudah sangat bagus," tutur Aviliani dalam Webinar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2021: Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi, Rabu (18/11).

Kondisi tersebut menggambarkan, tantangan bagi perbankan tetap akan berat pada tahun depan. Perpanjangan waktu restrukturisasi kredit disebutkan Aviliani semakin menambah beban mereka. Tingkat kredit macet pun semakin sulit ditampik mengingat dunia usaha membutuhkan waktu panjang untuk kembali pulih.

Sedangkan, Aviliani menuturkan, sebagian besar pendapatan perbankan didapatkan dari kredit. Artinya, ketika pertumbuhan kredit mengalami perlambatan atau bahkan kontraksi, perbankan mendapatkan keuntungan yang terbatas.

Situasi itu diperparah dengan biaya operasional perbankan yang cukup tinggi. Perbankan tidak boleh mengenakan bunga selama proses restrukturisasi kredit "Berarti, selama satu tahun atau bahkan dua tahun, bank tidak mendapat pendapatan dari bunga dan pokoknya. Itu akan menjadi cost untuk bank," ujarnya.

Upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasinya adalah meningkatkan demand side. Kontribusi pemerintah melalui insentif terhadap industri dalam negeri, harus ditingkatkan. Khususnya ke produk yang memang dapat dibeli masyarakat secara berkali-kali, seperti kebutuhan sehari-hari.

Di sisi lain, proyek pemerintah harus tetap jalan. Aviliani menuturkan, Proyek Strategis Nasional (PSN), misalnya, kerap kali menimbulkan efek pengganda kepada dunia swasta yang berpotensi menciptakan pertumbuhan kredit ke perbankan.

Selain itu, Aviliani berharap pemerintah tetap intensif memberikan jaring pengaman sosial. Ia pesimistis, masyarakat yang terdampak pandemi dapat kembali bekerja tahun depan atau memiliki penghasilan bagus. "Pekerja penghasilan di bawah Rp 5 juta dan UMKM masih akan bermasalah. Mereka tetap harus diberikan bantuan sosial," ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement